Penundaan Pilkada tahun 2022 dan 2023 masih menimbulkan polemik. Berdasarkan data Kemendagri pada Mei 2022, kebutuhan pengisian pejabat kepala daerah di antaranya terdapat di 5 provinsi, 6 kota, dan 37 kabupaten. Sementara itu, terdapat sebanyak 101 kepala daerah yang masa kepemimpinannya akan berakhir pada 2022 dan sebanyak 170 kepala dan wakil kepala daerah di 2023.
Artinya, terdapat 271 jabatan kepala daerah akan berakhir sebelum pemilihan serentak 2024. Kebijakan ini telah disepakati oleh DPR dan Pemerintah dengan peniadaan pemilihan kepala daerah 2022 dan 2023.
Pemerintah menyepakati dengan solusi berupa Penunjukan penjabat (PJ) kepala daerah. Kebijakan ini diambil untuk menghindari kekosongan kekuasaan di daerah pada masa transisi Pilkada serentak nasional 2024.
Dasar hukum penunjukan penjabat (Pj) kepala daerah dalam pengisian kekosongan jabatan kepala daerah sampai dengan terpilihnya kepala daerah hasil Pilkada serentak nasional 2024 adalah Pasal 201 ayat (9) UU No. 10 Tahun 2016
Konstitusionalitas Pengangkatan PJ Kepala Daerah
Pemilihan pejabat kepala daerah yang akan menggantikan kepala daerah dinilai tidak sejalan dengan konstitusi. Dalam UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, pengangkatan pejabat gubernur, pejabat bupati, dan pejabat wali kota untuk mengisi kekosongan kepala daerah. Para pejabat ini berasal dari aparatur sipil negara (ASN) yang akan bertugas sampai dengan terpilih nya kepala daerah hasil dari Pilkada 2024.
Menariknya, dalam pengisian pun dilakukan secara berbeda-beda. Misalnya, di tingkat Provinsi Presiden akan memilih satu dari tiga nama yang diusulkan oleh Kemendagri. Untuk tingkat Kabupaten/kota, akan dipilih oleh Kemendagri dari tiga nama yang diusulkan oleh gubernur. Artinya, kewenangan pemilihan pejabat kepala daerah ditentukan oleh Pemerintah Pusat.
Dengan mekanisme ini, pertanyaannya adalah terkait dengan konstitusionalitas dan legitimasi pejabat kepala daerah. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 berbunyi Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Dengan mekanisme pemilihan yang dimonopoli oleh Pemerintah Pusat tanpa ada memperhatikan aspirasi rakyat, kebijakan ini telah menghilangkan makna demokratis amanat UUD 1945.
Artinya, secara konstitusionalitas pemilihan pejabat kepala daerah menjadi persoalan. Belum lagi, pejabat kepala daerah akan memimpin dalam kurung waktu yang terbilang cukup lama.
Kebijakan Kemendagri pada dasarnya juga tidak sejalan dengan Pasal 176 UU Pilkada. Ketika terjadi kekosongan pengisian kepala daerah lebih dari 18 bulan, pemilihan dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Artinya, pengisian kekosongan kepala daerah oleh pejabat yang telah ditetapkan oleh kemendagri menjadi tidak relevan.