Pada dasarnya, hukuman mati merupakan hukuman yang diberikan kepada penjahat atas kejahatan seperti yang tertera pada UU di atas. Mengenai sistematika penjatuhanya sendiri terdapat suatu alur hukuman mati ini dilaksanakan ketika seseorang terpidana telah menempuh upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Hukuman mati tidak langsung begitu saja ditetapkan kepada pelaku kejahatan tetapi juga terdapat suatu upaya hukum untuknya.
Terdapat perdebatan mengenai hukuman mati, antara penegakan hukum pidana dan hak hidup seseorang. Pasal 6 dan 2 ICCPR memang masih memperbolehkan penerapan hukuman mati oleh suatu negara terbatas hukuman diperuntukan tindak kejahatan yang sangat serius. Lalu bagaimana dengan hak hidup seseorang itu?
Pada dasarnya hak untuk hidup merupakan hak yang tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun. Pasal 28A UUD 1945 menjamin bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupanya. Keadaan menjadi rumit kerena terjadi ketidakselarasan antara dasar hukum negara dan hukum di bawahnya.
Dalam hukum positif Indonesia, dikenal asas perundang-undangan Lex Superior dirogatlegi Inferior (hukum yang lebih rendah tidak boleh bertenangan dengan hukum yang lebih tinggi). Padahal, UU yang mengatur tentang hukuman mati itu bertentangan dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi negara. Lalu pertanyaannya adalah jika memang UU tentang hukuman itu bertentangan dengan UUD 1945, mengapa hukuman mati itu tetap diterapkan?
Menurut pendapat penulis, penerapan hukuman mati itu masih diterapkan kerena adanya suatu alternatif negara untuk menanggulangi masalah. Negara melakukan cara atau mencari solusi praktis untuk mengatasi kejahatan yang tergolong luar biasa, sebagai contoh kasus pengedaaran narkoba atau pembantaian terhadap kelompok tertentu.