Atas tindakan tersebut, Suzanne Hol dapat dikenakan Pasal 75 Ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian. Pasal ini menegaskan bahwa pejabat imigrasi berwenang melakukan tindakan administratif keimigrasian terhadap Orang Asing yang berada di wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak menaati peraturan perundang-undangan.
Dengan kata lain, meskipun Suzanne Hol dinyatakan bukan sebagai anggota diplomatik, hukum nasional di Indonesia tetap dapat memungkinkan diberikannya Persona non Grata. Hanya saja, istilah yang digunakan berbeda karena pemberian Persona non Grata menurut hukum internasional merupakan istilah yang diberikan kepada pejabat diplomatik. Sementara itu, substansi Persona non Grata pada umumnya tetap merupakan status yang diberikan apabila seseorang tidak diinginkan di suatu negara.
Kesimpulannya, Persona non Grata tidak hanya diberikan kepada staf diplomatik, tetapi juga warga negara yang terbukti melakukan pelanggaran fatal. Hal tersebut dibuktikan dengan hukum nasional (Undang Undang Nomor 6 Tahun 2011) yang memiliki peraturan yang substansinya relatif sama dengan substansi Persona non Grata. Seseorang dapat dilarang untuk menjejakkan kaki lagi di suatu negara.
Berdasarkan uraian di atas, Persona non Grata tidak lepas dari bagaimana ilmu hukum pada umumnya memberikan istilah-istilah spesifik yang membedakan bahasa hukum dengan bahasa umum yang lain. Karenanya, Persona non Grata hanya merupakan sebuah istilah dalam hukum yang mengalih fungsikan arti sebenarnya yaitu “orang yang tidak disenangi” menjadi “seseorang tidak dapat lagi diperbolehkan untuk berada di suatu negara/diblokir oleh suatu negara.” Istilah ini digunakan dengan tujuan untuk menyederhanakan penafsiran agar istilah Persona non Grata dapat digunakan dengan mudah dalam suatu perbuatan hukum.