Sebagaimana manusia pada umumnya, ada individu maupun kelompok di suatu negara dalam kancah internasional yang melakukan suatu perbuatan fatal, baik sengaja maupun tidak, yang melawan hukum suatu negara tertentu. Selanjutnya, tindakan tersebut mengakibatkan kecaman yang masif oleh negara yang bersangkutan. Atas hal tersebut, tercipta istilah Persona Non Grata dalam lingkup hubungan internasional. Istilah Persona Non Grata diambil dari bahasa latin, yang berarti “seseorang yang tidak menyenangkan.”
Persona non Grata merupakan sanksi berupa “status” yang diberikan kepada seorang anggota diplomatik yang tidak diinginkan lagi di negara penerima karena adanya suatu kerusakan terhadap hukum nasional atau moral secara keseluruhan. Apabila anggota diplomatik dikenakan Persona non Grata, anggota tersebut tidak boleh lagi menginjakkan kakinya di negara yang bersangkutan, alias ‘diblokir’ dari negara tersebut. Pertanyaannya adalah, apakah status Persona non Grata ini berlaku hanya pada anggota diplomatik atau juga masyarakat biasa?
Perwujudan dari status Persona non Grata tersebut dapat kita analisis dari kasus hukum internasional yang pernah terjadi di Indonesia. Seorang self-proclaimed Staf Kedutaan Besar Jerman, Suzanne Hol, berkunjung ke sekretariat Front Pembela Islam (FPI) pada 17 Desember 2020. Ia menggunakan kendaraan bernomor pemerintah dan Suzanne Hol sendiri terdata sebagai Staf Diplomatik berpangkat Sekretaris II.
Pemerintah Indonesia mencurigai kunjungan tersebut karena diduga tidak sesuai dengan tugas diplomatik yang telah ditetapkan. DPR pun melakukan penyelidikan dan menemukan fakta hukum bahwa Suzanne Hol ternyata bukan pegawai di Kementerian Luar Negeri Jerman. Melainkan, Ia tercatat sebagai pegawai Bundesnachrichtendienst (BND), yaitu Badan Intelijen Federal Jerman.