Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme dinilai berpotensi mengganggu sistem peradilan pidana, HAM dan demokrasi. Sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat melalui Petisi Bersama Masyarakat Sipil menolak Rancangan Perpres tersebut. Pada 4 Mei 2020 pemerintah menyerahkan Rancangan Perpres ini kepada DPR.
Selanjutnya, DPR akan memberikan pertimbangan kepada pemerintah sebagai bentuk bagian dari konsultasi pemerintah kepada DPR sebagaimana UU 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sebelum nantinya disahkan oleh Presiden. Pengaturan kewenangan penangkalan dalam Rancangan Perpres sangat luas, yakni dengan menjalankan operasi intelijen, teritorial, informasi dan lainnya (Pasal 3 Rancangan Perppres). Sementara itu, perpres ini tidak memberi penjelasan lebih rinci terkait dengan operasi lainnya.
Dengan Pasal ini, TNI diharapkan dapat terlibat dalam penanganan pidana terorisme secara lebih leluasa di dalam negeri, sehingga berpotensi membahayakan HAM di Indonesia. Secara konsepsi, istilah penangkalan tidak dikenal dalam UU 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. UU tersebut hanya mengenal istilah pencegahan, yakni sebagai tugas pemerintah yang dikoordinasikan oleh BNPT (Pasal 43 UU 5/2018), yang kewenangannya diberikan kepada BNPT, bukan kepada TNI.
Berbeda dengan Rancangan Perpres ini, TNI diberi kewenangan untuk melakukan penangkalan. Pemberian kewenangan yang luas kepada TNI untuk mengatasi terorisme tanpa dibarengi dengan kejelasan mekanisme akuntabilitas untuk tunduk dalam sistem peradilan umum membahayakan hak-hak warga. Jika terdapat kesalahan operasi di lapangan yang mengakibatkan hak-hak warga negara terlanggar, mekanisme pertanggungjawabannya menjadi tidak jelas karena militer masih tunduk yurisdiksi peradilan militer, bukan peradilan umum.