Penulis: Namira Hilda Papuani, Mochammad Daniar Indar Moslem, Emi Zulaika
Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi muslim terbanyak di dunia. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), per tahun 2021, jumlah penduduk muslim di Indonesia mencapai 86,9% dari populasi tanah air yang mencapai 273,32 juta orang (Bayu 2021). Konsekuensi logis dari hal tersebut adalah, penduduk Indonesia menginginkan manifestasi keyakinan beragama mereka terlindungi, salah satunya melalui pemberian label halal dalam setiap produk yang mereka gunakan.
Jaminan produk halal bagi konsumen adalah hal yang harus mendapatkan perhatian dari negara. Hal tersebut selaras dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, di mana negara wajib melindungi segenap bangsa Indonesia dan mewujudkan kesejahteraan umum (Charity 2018). Dalam industri kosmetik yang terus berkembang hingga saat ini, tentu telah diolah menggunakan beragam metode pengolahan yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru.
Namun, tak dapat dipungkiri, terdapat beberapa produk kosmetik yang tidak menerapkan sertifikasi halal dalam produksinya. Permasalahan tersebut menimbulkan kekhawatiran dari masyarakat. Akibat pesatnya arus perdagangan kosmetik di Indonesia, dinilai perlu untuk memberikan kontrol yang ketat terhadap produk yang mengandung atau terkontaminasi unsur haram.
Sejatinya, pembahasan mengenai perlindungan konsumen terhadap produk halal telah dilakukan sejak tahun 2010. Bermula dilaksanakannya World Halal Forum Europe di London, dihasilkan 6 pembahasan dari isu kehalalan produk bagi konsumen. Dari keenam isu yang dibahas, pada pokoknya penyediaan produk halal di lingkup internasional sangatlah diperlukan. Hal tersebut diwujudkan dengan adanya akreditasi dan sertifikasi halal internasional (Anon 2010).
Tingginya respon positif dari masyarakat maupun dunia internasional, mendorong Indonesia untuk mengesahkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UUJPH). Dalam UU tersebut, pemberian label halal meliputi produk makanan, minuman, produk rekayasa genetik, dan termasuk pula kosmetik. Tentu, kosmetik harus terdapat label halal mengingat produk ini merupakan barang yang digunakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat secara umum.
Dengan hadirnya UUJPH, tentu memberikan dampak yang positif bagi konsumen maupun pelaku usaha. Bagi konsumen, berlakunya UUJPH menjadikan konsumen memilki kepastian hukum terhadap barang yang digunakan, termasuk kosmetik. Sedangkan bagi pelaku usaha, adanya UUJPH memberikan panduan tentang bagaimana cara mengolah, memproses, memproduksi, hingga memasarkan produk yang dijual kepada konsumen. Di samping itu, pelaku usaha pun memiliki panduan tentang pembuatan produk yang halal bagi konsumen (Hukum Online t.t.).
Pemberian Label Halal Dalam Perspektif Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Berkaca dari pendapat Prof. Satjipto Rahardjo, hukum hadir di dalam masyarakat bertujuan untuk memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia. Selain itu, hukum ada sebagai perlindungan bagi warga negara agar dapat menikmati hak asasi yang diperoleh dengan tenang dan aman (Rahmi Ayunda, 2021). Selaras dengan hal tersebut, pemerintah kemudian mengesahkan UU 8/1999 tentang perlindungan konsumen guna menjamin hak dari konsumen serta pelaku usaha, diskursus mengenai pelabelan halal pada setiap produk yang beredar di masyarakat.
Dalam hal ini hukum perlindungan konsumen hadir guna menjamin hak dari konsumen serta pelaku usaha, diskursus mengenai pelabelan halal pada suatu produk sangat masif dibahas. Sejatinya, dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak mengatur secara khusus mengenai pemberian label halal. Namun, dalam Pasal 4 angka 3 UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur tersebut termasuk pula dengan informasi halal atau tidaknya produk yang akan digunakan oleh konsumen.
Tidak hanya konsumen, terdapat juga kewajiban bagi pelaku yang tertuang dalam Pasal 7 huruf B yang menyatakan bahwa pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Selain itu, dalam Pasal 8 huruf h UUPK, pelaku usaha dilarang untuk tidak mengikuti ketentuan berporduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label. Di Indonesia, lembaga yang otoritatif melaksanakan Sertifikasi Halal adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang secara teknis ditangani oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) (Siti Muslimah 2012). Sedangkan kegiatan labelisasi halal dikelola oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). Dasar dari pelabelan halal sendiri diatur dalam Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2014 atas Jaminan Produk Halal (UU JPH).
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal ini menjadi lex specialis derogat legi generalis atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Sebab, mengenai pelabelan ini telah diatur secara khusus oleh UU JPH. Tujuan dibentuknya UU JPH tersebut untuk menciptakan suatu tatanan bagi konsumen agar memiliki unsur kepastian hukum. Sedangkan bagi pelaku usaha, hadirnya UU JPH bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pemberian informasi mengenai produk yang tepat atau memiliki sertifikat kehalalan dalam produksinya. Sehingga, hal ini diharapkan bisa menumbuhkan sifat yang jujur dan bisa bertanggung jawab dalam berusaha agar menghasilkan suatu produk barang atau pun jasa yang bermutu demi keamanan, kenyamanan, keselamatan, dan kesehatan konsumen (Melissa Aulia Hosanna dan Susanti Adi Nugroho 2018).
Dengan ditetapkan Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2014 atas Jaminan Produk Halal (UU JPH), yang berhubungan dengan ketentuan Pasal 4, menjelaskan suatu produk – produk kosmetik yang beredar masuk serta diperdagangkan di Indonesia harus memiliki sertifikat halal. Maka menurut hemat penulis bahwa pelaku usaha yang hendak menjual produk kosmetik dari dalam maupun luar negeri harus menyertakan label halal pada produk kosmetik tersebut, dengan adanya label halal tersebut tidak akan ada kerugian yang di terima pelaku usaha maupun konsumen dalam melakukan transaksi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal menjadi aturan hukum yang berlaku di Indonesia maka terhadap aturan hukum tersebut diatas harus dipatuhi oleh pelaku usaha.