Dalam demokrasi, siapa saja bisa menjadi pemimpin dan berada dalam lingkungan parlemen atau menjadi eksekutif. Jika telah dipilih mayoritas rakyat, seseorang dapat menjadi pemimpin atau anggota parlemen. Meskipun demokrasi tidak membedakan atas dasar laki-laki dan perempuan, terkadang perempuan enggan maju dalam kontestasi politik di Indonesia. Ketika laki-laki mendominasi di dalam legislatif maka akan timbul sebuah sistem sosial yang disebut patriarki.
Di dalam buku Ade Irma Sakina, Dessy Hasanah Siti A. (2017). “Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia” disebutkan bahwa patriarki berasal dari kata patriarkat yang berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya. Dalam Charles E. Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice 4th-ed juga disebutkan bahwa patriarki merupakan sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama. Hasilnya, laki-laki mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti.
Sistem patriarki dalam politik bisa saja terbentuk. Hal ini karena dalam sistem demokrasi rakyat yang menjadi penentu dalam setiap mengambil keputusan.
Dalam menjalakan sistem pemerintahan di negara demokrasi, pelibatan atau keterwakilan perempuan menjadi sangat penting. Khususnya, dalam menyerap aspirasi masyarakat, karena aspirasi merupakan kebutuhan rakyat kepada pemerintah dalam berbangsa dan bernegara. Dalam mengambil keputusan, negara harus memperhatikan berbagai aspek masyarakat dan tidak boleh memihak.
Negara demokrasi seperti Indonesia mewakilkan suara rakyat kepada anggota perwakilan rakyat. Jika keterlibatan perempuan dalam lembaga perwakilan ini terbatas, bagaimana suara kaum perempuan bisa terwakilkan? Pengabaian ini mendorong patriarki meskipun itu adalah negara demokrasi. Praktik patriarki ini perlu dihilangkan dalam masyarakat, terutama dalam dunia politik. Alasannya, semua orang berhak untuk mendapatkan kesempatan dan jabatan dalam kontestasi politik tanpa legitimasi bahwa laki-laki lebih berhak dal politik.
Keterlibatan perempuan dalam politik perlu diperjuangkan agar dapat mengimplementasikan kemampuan yang dimiliki perempuan. Tujuannya, agar terbentuk keseteraan gender dalam demokrasi atau gender democracy.
Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika sepatutnya menyoroti peningkatan partisipasi perempuan dalam ranah politik. Sejak lama Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan dalam UU 68/1958 tentang Persetujuan Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita.
UU ini mengatur perwujudan kesamaan kedudukan atau non diskriminasi jaminan persamaan hak memilih dan dipilih dan jaminan partisipasi dalam perumusan kebijakan. UU ini juga memastikan kesempatan menempati posisi jabatan birokrasi, dan jaminan partisipasi dalam organisasi sosial politik.
Landasan konstitusionalnya tertuang dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Pasal ini menyatakan, “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
Peraturan-peraturan di atas menjadi landasan bagi semua kalangan, termasuk baik laki-laki maupun perempuan untuk bebas dari segala diskriminasi. Mereka memiliki kesempatan yang sama baik dari segi aspek sosial, aspek kehidupan, maupun aspek politik.
Pemilihan Umum dan Zipper System
Tentu, demokrasi perlu ruang atau sarana untuk mewujudkannya. Salah satunya adalah melalui pemilihan umum (pemilu). Sistem pemilu dapat memengaruhi hasil pemilu, termasuk partisipasi dan keterwakilan perempuan di parlemen.