Perihal kasus korupsi seakan tidak ada habisnya untuk dibahas. Bukan karena Korupsi merupakan sebagai salah satu kejahatan yang tergolong extraordinary crime, akan tetapi dampak yang ditimbulkan oleh korupsi sangatlah besar. Karena dampaknya yang besar inilah korupsi menjadi kejahatan yang harus dibasmi keberadaannya.
Sejauh ini regulasi hukum mengenai penegakan pemberantasan korupsi adalah UU 19/2019, yang mana dalam UU tersebut belum mengakomodir secara eksplisit terkait perampasan aset dari hasil koruptor. Walaupun sebenarnya terdapat beberapa ketentuan lain dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang mekanisme perampasan aset hasil kejahatan. Seperti yang terdapat dalam Pasal 10 KUHPidana, yang mengkategorikan perampasan aset masuk dalam lingkup pidana tambahan.
Tidak hanya dalam Pasal 10, karena Pasal 39 ayat (1) KUHPidana dan Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga menyinggung mengenai perampasan aset. Namun, dari beberapa ketentuan tersebut tidak mengatur secara detail terkait mekanisme perampasan aset itu sendiri. Akhirnya aparat penegak hukum kesulitan dalam menangani kasus yang berkaitan dengan perampasan aset, karena harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Walaupun demikian, ternyata masih terdapat permasalahan yang belum dijangkau oleh ketentuan tersebut yakni dalam hal jika tersangka tidak ditemukan, tersangka melarikan diri ke luar negeri, terdakwa menjadi gila. Atau bahkan tidak adanya ahli waris atau ahli waris tidak ditemukan untuk dilakukan gugatan perdata sedangkan telah nyata adanya kerugian keuangan negara, dan dalam hal aset tersebut tidak diletakkan dalam sita pidana.
Dari beberapa paparan diatas rasanya sudah cukup alasan agar RUU Perampasan Aset harus segera disahkan. Selain untuk mengisi kekosongan hukum, RUU tersebut juga akan menambah efisiensi aparat penegak hukum dalam melakukan perampasan aset hasil kejahatan korupsi.
Dalam RUU perampasan aset justru jangkauannya lebih jauh dan luas daripada ketentuan dalam peraturan yang berlaku, sehingga dapat meningkatkan potensi pengembalian aset. Setidaknya terdapat beberapa kriteria aset yang dapat dirampas dalam RUU perampasan aset, diantaranya; aset yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; aset yang tidak sepadan dengan pendapatan atau penambahan aset; aset yang merupakan barang temuan; aset sitaan dari tindak pidana; dan aset yang legal untuk denda dari tindak pidana.
Hal-hal yang tak kalah penting yakni mengenai aset hasil korupsi yang berada diluar negeri.Setidaknya perlu adanya MLA (Mutual Legal Assistance) atau hukum timbal balik agar aset hasil korupsi yang terdapat di luar negeri dapat disita atau dikembalikan ke negara asal. Sudah tentu jika melalui MLA prosesnya cukup panjang dan rigid. Sampai saat ini, Indonesia sendiri hanya memiliki tiga perjanjian MLA. Pertama, dengan Pemerintah Australia. Kedua, dengan RRC dan Ketiga dengan beberapa negara ASEAN.
Keadaan tersebut mengindikasikan perlu adanya mekanisme hukum yang khusus mengatur tentang perampasan aset hasil jarahan koruptor, agar keuangan negara dapat dikembalikan dan dapat dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Melalui RUU perampasan aset yang didalamnya mengakomodir adanya subtitusi aset, bisa menjadi jalan alternatif untuk mengembalikan aset negara yang berada di luar negeri. Subtitusi aset disini maksudnya adalah aset yang tidak dapat disita yang berada di luar negeri, dapat diganti dengan aset yang sebanding dengan nilai tersebut.
Tidak hanya mengisi kekosongan hukum, apabila nanti RUU Perampasan Aset disahkan maka konsep perampasan aset tanpa pemidanaan (non-conviction based asset forfeiture) bisa diterapkan di Indonesia. Karena beberapa negara di dunia sudah banyak yang menerapkan konsep perampasan aset tanpa pemidanaan tersebut. Konsep ini akan lebih efektif dibandingkan dengan menggunakan ketentuan dalam peraturan lain, seperti KUHPidana dan juga UU lain yang menyinggung tentang perampasan aset hasil kejahatan.