Seperti diketahui, masyarakat tradisional memiliki suatu kewajiban utama yakni membantu anggota keluarganya. Sikap ini juga sering diterapkan oleh masyarakat saat ini yang berpotensi dilakukan oleh pejabat tertentu untuk meloloskan kolega maupun keluarganya ke dalam pekerjaan. Akibatnya, orang lain yang lebih layak tidak memiliki peluang untuk mengambil pekerjaan tersebut.
Sikap ini biasa disebut nepotisme. Memilih seseorang yang tidak layak dapat memicu rendahnya produktivitas. Nepotisme berdampak buruk hingga menyebabkan munculnya praktik-praktik ketidakadilan dan diskriminasi.
Definisi Nepotisme
Dari segi bahasa, nepotisme berasal dari bahasa Latin yakni Nepos yang berarti anak saudara. Berdasarkan “Kamus Antarabangsa Ketiga Webster”, nepotisme mengacu pada pelantikan anak saudara atau saudara-saudara lain pada suatu jabatan berdasarkan hubungan dan bukannya kelayakan seseorang individu.
Menurut Ozsemerci, nepotisme bisa ditafsirkan sebagai pencapaian proses pengambilan dan proses pemilihan, promosi, penyediaan keadaan kerja yang lebih baik dan keuntungan yang serupa tanpa mempertimbangkan pengetahuan, kebolehan, kemahiran, tahap pendidikan dan pengalaman yang bersangkutan melainkan disebabkan hubungan kekeluargaan mereka.
Menurut Jones dan Stout, nepotisme mengacu pada satu bentuk proses pemilihan pekerja yang memberi keutamaan kepada ahli keluarga untuk memenuhi peluang pekerjaan yang ada. Kebanyakan situasi ini berlaku dalam organisasi perniagaan yang dijalankan oleh ahli keluarga sendiri atau lebih dikenal sebagai perniagaan keluarga.
Sistem Kekeluargaan dan Nepotisme
Sistem kekeluargaan akan memilih orang-orang dari kelompok atau keluarganya untuk diangkat dalam pekerjaan atau jabatan tertentu. Akibatnya mereka yang tidak termasuk dalam kelompok atau keluarga tersebut akan menganggap nepotisme sebagai diskriminasi.
Selain diskriminatif, nepotisme menjadikan lembaga publik seperti bisnis keluarga, merugikan publik. Pihak luar akan memandangnya sebagai praktik yang buruk dan tidak adil. Dampaknya, nepotisme menjadi sikap yang merusak keharmonisan masyarakat, sedangkan orang-orang di luar kelompok akan mencoba cara lain demi bertahan hidup.
Nepotisme juga merupakan pintu masuk tindakan korupsi yang merugikan keuangan negara. Nepotisme menjadi fenomena yang dipandang tidak bermoral dan tidak adil bagi orang-orang yang tidak mendapat keuntungan darinya.
Namun begitu, hal ini bisa juga berlaku di sektor manapun baik sektor swasta maupun sektor awam. Maka, nepotisme tidak boleh dianggap sebagai fenomena yang wajar digunakan dalam proses pemilihan pekerja karena mempunyai perspektif yang negatif.
Praktik-Praktik yang Terindikasi Nepotisme di Indonesia
Di Indonesia nepotisme terjadi dalam berbagai instansi. Kita dapat ambil contoh di instansi pemerintah daerah (Pemda). Faktor keluarga dalam pengangkatan pejabat lingkungan pemda masih kerap ditemui dan sudah menjadi rahasia umum. Keadaan tersebut tidak banyak yang terpublikasi secara luas, hanya diketahui orang-orang di lingkungan kerjanya.
Contoh terkenal mengenai nepotisme di lingkungan Pemda adalah ketika Ratu Atut menjabat sebagai Gubernur Banten. Kala itu keluarga dekat Ratu Atut menduduki sejumlah jabatan baik di lembaga sosial, legislatif maupun pemerintahan. Haryani, ibu tiri Ratu Atut, menjabat Wakil Bupati Pandeglang. Airin Rachmi Diany, adik ipar Ratu Atut, menjabat Walikota Tangerang Selatan. Ratu Tatu Chasanah, adik kandung Ratu Atut, menjabat Wakil Bupati Serang.
Tubagus Haerul Jaman, adik tiri Ratu Atut, menjabat Walikota Serang. Ahmed Zaki Iskandar, anak mantan Bupati Tangerang, menjabat Bupati Tangerang terpilih. Dengan demikian, Provinsi Banten seperti milik keluarga Ratu Atut. Praktik politik seperti ini condong kepada politik dinasti sebagaimana kerajaan masa lampau.
Tindakan nepotisme tersebut menyebabkan terkumpulnya dana di tangan “keluarga besar Ratu”. Apalagi ketika Pemerintah Provinsi Banten menyalurkan dana hibah mendekati pemilihan pada bulan Oktober. Ini memunculkan kecaman dari para pegiat antikorupsi.
Contoh lain dari nepotisme di lingkungan Pemda adalah diangkatnya sejumlah kerabat Gubernur Riau Syamsuar dan Sekretaris Daerah Riau Yan Prana Jaya dalam jabatan strategis di Pemerintah Provinsi Riau (Pemprov Riau) pada 2020. Praktik tersebut diketahui kala Syamsuar melantik pejabat-pejabat Pemprov Riau yakni Tika Rahmi Syahfitri, Kasubag Retribusi Bapenda Riau yang ternyata ialah menantu Syamsuar.
Begitu pula dengan Sekretaris Dinas Sosial Riau, Prasurya Darma yang merupakan kakak kandung Yan Prana serta Kepala Bidang Operasi Satpol PP Riau, Dedi Herman yang merupakan adik kandungnya.
Di instansi lain yakni TNI, ditunjuknya Jenderal Andika Perkasa sebagai Panglima TNI juga diwarnai isu nepotisme dan tidak transparan. Sebagaimana disampaikan Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo, Andika merupakan menantu Jenderal (Purn) A.M. Hendropriyono, mantan kepala BIN yang mendukung Jokowi sebagai Presiden. Adnan juga menyoroti besarnya harta kekayaan Andika serta keterlambatannya melaporkan LHKPN karena baru dilakukan pada tahun ketiga menjabat KSAD.
Sikap ini menunjukkan lemahnya integritas dan komitmen Andika Perkasa terhadap agenda pemberantasan korupsi. Karier moncer Andika di kepresidenan Jokowi mulai dari menjadi Danpaspampres, Pangkostrad, KSAD, hingga Panglima TNI diduga tidak lepas dari peran mertua Hendropriyono.
Instansi Polri pun begitu. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang terpilih atas usulan Presiden Jokowi merupakan orang cukup dekat dengan Presiden. Ia pernah menjadi Kabareskrim dan Kapolda Banten. Sebelumnya ia pernah menjabat Kapolres Surakarta ketika Jokowi masih Walikota Surakarta. Di kemudian waktu, Listyo menjabat sebagai Ajudan Presiden kala Jokowi menjadi Presiden.
Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (SUDRA) Fadhli Harahab menilai bahwa dari kedekatan tersebut Jokowi memilih Listyo sebagai calon Kapolri. Fadhli juga berpendapat, ditunjuknya Listyo menjadi calon tunggal Kapolri kala itu kental nuansa “nepotisme”. Meski begitu, nuansa nepotisme ketika penunjukan calon Kapolri harus dipahami merupakan hak prerogatif Presiden.
Sudah menjadi rahasia umum. Di lingkungan TNI-Polri seseorang yang dekat dengan Presiden seperti ajudan Presiden hingga paspampres cenderung memiliki karier yang moncer ke depannya. Diantaranya adalah Pangkostrad Letjen Maruli Simanjuntak, mantan Danpaspampres Jokowi serta menantu Menko Marves Luhut Pandjaitan.
Mantan Panglima TNI Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto, mantan sekmil Presiden Jokowi. Kepala BIN Jenderal (Purn) Budi Gunawan, mantan ajudan Presiden Megawati. Mantan Kapolri Jenderal (Purn) Sutarman, mantan ajudan Presiden Gus Dur.
Sisi Negatif dan Positif Nepotisme di Indonesia
Larangan nepotisme bukan berarti anggota keluarga dilarang memperoleh jabatan. Namun hal ini bertujuan untuk mencegah pejabat menyalahgunakan kewenangannya dalam memberikan anggota keluarganya pekerjaan publik di dalam lembaga publik.
Pejabat tidak boleh menggunakan kewenangan subjektif atas nama publik untuk mengutamakan anggota keluarga daripada orang lain yang lebih kompeten.
Nepotisme bagi penyelenggara negara cenderung menyebabkan ketidakterbukaan dan ketidakadilan ketika memberikan pekerjaan publik. Ketidakadilan tersebut terlihat karena alih-alih memilih orang yang ahli dan kompeten dalam suatu pekerjaan, justru anggota keluargalah yang dipilih.
Regulasi terkait nepotisme di Indonesia tertuang dalam UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. UU tersebut terlebih dahulu menjelaskan pentingnya penindakan pada kolusi serta nepotisme sehingga diharap dapat mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.
Apa saja yang termasuk perbuatan nepotisme? Tertuang dalam Pasal 1 angka 5 UU tersebut, “Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.”
Warga yang terbukti melakukan nepotisme akan mendapat hukuman seperti yang termaktub dalam Pasal 22. Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan nepotisme dipidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama 12 tahun. Selain itu, pelaku juga didenda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Terlepas dari dampak negatifnya, nepotisme sebenarnya tidak selalu buruk. Nepotisme adalah cerminan dari kekerabatan. Sifat tersebut melekat sebagai bagian dr sistem sosial di Indonesia. Selama mereka yang dipilih sebagai pejabat memiliki kecocokan dengan jabatannya seharusnya tidak masalah.
Sebagai contoh seorang pengusaha memiliki kenalan dengan IQ tinggi serta kapabilitas sesuai integritas dan karakter yang dibutuhkan organisasinya. Tidak ada alasan untuk menolaknya bekerja di perusahaan. Kemudian di tahap selanjutnya perlu dilakukan seleksi pada orang tersebut.
Dalam kasus Andika Perkasa, ia memang orang dekat Presiden Jokowi. Namun, ia juga memiliki banyak kelebihan. Andika merupakan lulusan terbaik Seskoad (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat) pada 1999/2000. Di samping itu, ia menempuh pendidikan di Universitas Harvard dan Universitas George Washington. Kemudian, ia berpengalaman lapangan yang banyak dengan rekam jejak jabatan mulai dari Kopassus, Kodiklat, Pangdam, hingga KSAD.
Agar tidak berimplikasi negatif, nepotisme memang perlu dibatasi. Rekam jejak maupun integritas dari seseorang sebelum diangkat dalam suatu jabatan sangat penting. Disamping itu, proses seleksi untuk menguji kualitas yang bersangkutan harus tetap dilaksanakan.
Kesimpulan
Nepotisme dalam pemilihan pejabat sebaiknya tidak dijadikan tradisi. Selain tidak adil bagi orang lain, nepotisme membuka peluang korupsi maupun tindak pidana lain. Hal ini terjadi di masa orde baru Presiden Soeharto sehingga sampai dikenal istilah “korupsi, kolusi, dan nepotisme” (KKN). Selain itu, nepotisme juga dilarang oleh UU Nomor 28 Tahun 1999.
Dampak negatif nepotisme dapat dikurangi sepanjang mereka yang dipilih menduduki jabatan memiliki kemampuan dan kecocokan dengan jabatannya terlepas dari hubungan kekerabatan maupun pertemanan. Proses seleksi dan pengawasan terhadap para pejabat pun diperlukan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kesempatan bagi orang lain untuk memperoleh jabatan juga harus tetap terbuka.