Sejak 2002, terjadi perubahan konstitusi yang berdampak signifikan pada struktur ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya adalah dengan didirikannya Mahkamah Konstitusi. MK diharapkan dapat mendukung Indonesia menjadi negara hukum demokratis, sehingga independensi dan imparsialitasnya menentukan marwah konstitusi negara. Isu yang luput dari perhatian selama perubahan konstitusi ini adalah kewenangan MK memutus pengaduan konstitusional (constitutional complaint). Dengan tidak diadopsinya kewenangan ini, terdapat dua permasalahan utama yang muncul, yaitu: apa urgensi pengadopsian constitutional complaint dan bagaimana implikasi pengadopsian constitutional complaint jika kewenangan ini telah diberikan kepada MK.
Urgensi Pengaduan Konstitusional di Indonesia
Pengaduan konstitusional yang dalam bahasa Jerman disebut dengan vervassungsbechwerde merupakan hak yang diberikan kepada individu atau kelompok tertentu untuk menyatakan ketidaksetujuan atau penolakan terhadap tindakan pemerintah terhadap mereka. Pengaduan ini diajukan ketika mereka merasa bahwa hak-hak konstitusional mereka telah dilanggar oleh pemerintah. Pengaduan konstitusional ini bertujuan untuk memastikan setiap individu atau kelompok memiliki hak yang sama dan kebebasan untuk berpartisipasi dalam kehidupan negara serta untuk mematuhi prinsip-prinsip demokrasi. Sementara itu, MK ikut bertanggung jawab menjaga kekuatan konstitusional untuk melindungi hak-hak individu dan kelompok.
Pengaduan konsitusional ini memberikan perlindungan untuk memastikan bahwa dalam segala tahap proses penyelenggaraan negara, termasuk pembuatan undang-undang, administrasi pemerintah, dan keputusan pengadilan, hak-hak konstitusional tidak dilanggar. Pengadopsian pengaduan ini selaras dengan pernyataan Lord Acton bahwa kekuasaan itu berpotensi disalahgunakan dan kekuasaan yang absoulut tentu akan disalahgunakan secara absolut (power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutly).
Kasus-kasus konkret pelanggaran hak konstitusional melalui kebijakan lembaga negara sering terjadi di Indonesia. Menurut I Dewa Gede Palguna, banyak permohonan yang diajukan kepada MK yang bermuatan pengaduan konstitusional. Namun, karena belum ada sarana memadai untuk menangani permasalahan tersebut, para pemohon akhirnya menggunakan metode constitutional review untuk mengemas kasus constitutional complaint agar bisa diperiksa MK. Oleh karena itu, memberikan wewenang kepada MK untuk mengadili pengaduan konstitusional akan menguatkan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan warga negara.
Sementara itu, ketidakmampuan MK mengadili pengaduan konstitusional mengakibatkan absennya alternatif hukum oleh warga negara, saat mereka merasa terjadi pelanggaran hak konstitusional yang bukan disebabkan oleh ketentuan undang-undang. Keadaan ini tidak terhindarkan karena dimungkinkannya kelalaian oleh pejabat publik, bahkan setelah semua upaya hukum yang tersedia telah dilakukan. Namun, MK tidak dapat mengadili perkara seperti ini karena tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa mereka.
Pengaduan konstitusional telah diadopsi oleh MK negara-negara lain, seperti Korea Selatan dan Jerman. Negara-negara maju tersebut telah sejak lama melindungi hak-hak konstitusional warga negaranya dari penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat publik atau lembaga negara dalam membuat suatu kebijakan. Di kedua negara tersebut, MK dapat berperan lebih besar dalam melindungi hak-hak konstitusional. Menurut penulis, sangat lumrah apabila muncul usulan mengadopsi pengaduan konstitusional sebagai kewenangan baru MK di Indonesia. Hak konstitusional warga negara merupakan hak dasar yang harus dilindungi oleh negara untuk mewujudkan negara hukum yang demokratis.
Implikasi Pengadopsian Pengaduan Konstitusional di Indonesia
MK berpandangan bahwa supremasi konstitusi tidak hanya berarti bahwa semua peraturan hukum harus sesuai dengan konstitusi. Supremasi konstitusi juga berlaku untuk tindakan negara, sehingga tidak ada tindakan negara yang boleh melanggar konstitusi.
Untuk mengawasi tindakan ini, terdapat mekanisme constitutional complaint yang menjadi kewenangan MK di berbagai negara. Di Indonesia, terdapat suatu kejanggalan tersendiri karena kewenangan UUD 1945 tidak menyebut pengaduan konstitusional sebagai kewenangan yang diberikan kepada MK. Alhasil, banyaknya pengaduan konstitusional yang ditolak MK menciptakan suatu keraguan besar di kalangan masyarakat mengenai peran MK sebagai penjaga hak konstitusional. Persepsi ini memicu pemikiran baru di antara ahli hukum tata negara tentang bagaimana memberikan MK wewenang tambahan untuk memutus pengaduan konstitusional. Meskipun, dalam realitasnya pengadopsiannya sangat sulit dilakukan karena perlu mengubah UUD 1945 terlebih dahulu.
Terdapat berbagai implikasi terkait penerapan pengaduan konstitusional di Indonesia. Pertama, pengadopsian pengaduan konstitusional sebagai kewenangan baru MK memerlukan sinkronisasi terhadap sistem hukum yang berlaku saat ini. Suatu tatanan konsep hukum yang diterapkan di Indonesia dapat memengaruhi cara kerja atas pengadopsian pengaduan konstitusional. Tantangannya berkaitan dengan pengaduan suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah (dalam arti luas) melalui dengan melalui pengaduan konstitusional.
Kedua, MK dalam Putusannya No. 28/PUU-XVII/2019 dan 103/PUU-XX/2022 menyatakan bahwa pengaduan konstitusional telah diterapkan dalam pengajuan undang-undang di MK. Dalam putusannya, pertimbangan hakim menyatakan bahwa constitutional review sering di dalamnya terdapat constitutional complaint yang mana permohonan diajukan sebab pelanggaran hak-hak konstitusional yang terkandung undang-undang. Artinya, warga negara yang dapat menjadi pemohon adalah pihak yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang.
Hingga dewasa ini, masih terdapat perdebatan terkait penerapan constitutional complaint di MK. Menurut penulis, segala kebijakan yang dibuat merupakan open legal policy legislator (DPR) yang menentukan politik hukum yang akan berlaku di Indonesia. Ke depannya, penataan kewenangan kelembagaan, yang mencakup constitutional complaint sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan MK atas dasar prinsip perlindungan hak konstitusional warga negara dan fungsinya untuk melindungi hak konstitusional. Salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk mengadopsi constitutional complaint tersebut adalah dengan melakukan amandemen UUD 1945, yang tentu membutuhkan waktu relatif lama karena langkah ini tidak mudah dilakukan.
Kesimpulan
Di tengah perkembangan hukum yang progresif, hukum mesih belum dapat menjawab kekurangan untuk mengawal negara hukum yang demokratis, seperti tyda adanya kewenanngan pengaduan konstitusional oleh MK. Terdapat dinamika pengadopsian pengaduan konstitusional karena defisitnya ketentuan normatif atas kewenangan pengaduan konstitusional di dalam UUD 1945. Selain itu, untuk penambahan kewenangan pengaduan konstitusional masih diperlukan perlukan sinkronisasi sistem hukum. Sementara itu, MK dalam Putusan No. 28/PUU-XVII/2019 dan 103/PUU-XX/2022 menganggap pengaduan konstitusional telah diterapkan dalam pengujian undang-undang. Politik hukum di Indonesia secara mutatis mutandis terhadap pemberlakuan atau penambahan kewenangan pengaduan konstitusional di MK.