Penjelasan Pasal 12B UU tersebut menyebutkan, gratifikasi dapat diartikan sebagai Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Nah, yang menarik ada bentuk lain dari gratifikasi yaitu gratifikasi seks yaitu berupa pelayanan seksual yang diberikan kepada pejabat negara. Jika melihat dari pengertiannya maka frasa gratifikasi seksual merupakan bentuk interpretasi “pemberian fasilitas” lainnya.
Pasal 12B Ayat (1), setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan bahwa yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) pembuktian gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
Pada ayat (2), pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Harus terdapat ada tiga unsur pelaku gratikasi seksual yaitu, orang yang memberi gratifikasi, pejabat yang disuap dan pelayan seksualnya sendiri. Biasanya, pelaku prostitusi dalam perkara ini tidak pernah tersentuh. Gratifikasi seks mempunyai tujuan sebagai bentuk pelayanan untuk memuluskan berbagai proyek tender pengadaan barang dan jasa atau untuk menpengaruhi setiap kebijakan yang akan dibuat oleh aparatur negara yang berwenang. Mencuatnya isu gratifikasi seksual ke hadapan publik karena masyarakat sudah jenuh dan kecenderungan untuk pemberantasan segala bentuk praktik-praktik korup.
Pembuktian Gratifikasi Seksual
Gratifikasi memiliki poblematika tersendiri terkait dengan pembuktian pada persidangan. Problematika tersebut termasuk pula alat bukti pada Pasal 184 ayat (1) KUHP berkaitan dengan pembuktian hubungan seks yang dilakukan. Jika gratifikasi berupa pemberian sejumlah uang, barang, yang mana dapat dilihat kasat mata. Namun jika gratifikasi seks tidak dapat dilihat secara kasat mata kasat mata.
Kesulitan dalam proses pembuktian terkait dengan pengakuan yang misalnya orang penyedia jasa layanan seksual memberikan pengakuan. Selain itu juga dapat dibuktikan secara elektronik melalui percakapan chat dengan pemberi layanan atau orang si penyedia jasa.