Di era modern saat ini ada banyak kasus pelecehan seksual yang terjadi. Pelecehan seksual merupakan suatu tindakan atau perilaku terkait dengan seks yang tidak diinginkan oleh semua orang, termasuk permintaan untuk melakukan seks dan perilaku lainnya secara verbal ataupun fisik yang menuju ke seks. Hal tersebut dapat terjadi kapan pun, di mana pun dan terhadap siapa pun.
Pada zaman ini catcalling secara langsung maupun tidak langsung kurang dianggap kurang serius oleh masyarakat sekitar. Artikel ini akan membahas tentang pelecehan seksual verbal atau disebut dengan ‘catcalling’.
Apakah kalian tahu arti dari catcalling? Catcalling adalah ekspresi secara verbal dan juga ekspresi non-verbal bisa dilakukan di tempat umum, seperti: trotoar, jalan raya dan perhentian bus. Secara verbal, catcalling biasa dilakukan dengan bersiulan ataupun kata-kata yang tidak sopan, yang sering kali di tujukan kepada wanita. Sementara itu, ekspresi non-verbal termasuk seperti lirikan atau gestur fisik yang bertindak memberikan penilaian penampilan wanita tersebut.
Pengertian lain dari catcalling adalah melakukan hal-hal yang berdeteksi seksual (bersuara keras dengan menyindir penampilan perempuan tersebut). Selain itu, catcalling dapat termasuk suara ciuman ataupun kecupan dari jauh, siulan, ataupun kata-kata dengan mengejek tubuh atau fisik wanita tersebut. Biasanya dengan cara memandang tubuh wanita tersebut dengan tidak biasa.
Menurut riset Hollaback di 42 kota di seluruh dunia, 71 persen perempuan pernah mengalami street harassment, khususnya catcalling, sejak usia puber (11-17 tahun). Terdapat lebih dari 50 persen di antaranya termasuk dalam pelecehan fisik.
Namun, catcalling dan street harassment adalah fenomena yang masih jarang sekali diteliti dan dibahas lebih lanjut. Oleh karena itu, isu ini seringkali masih dianggap remeh, seolah dianggap wajar sehingga perempuan harus memaklumi perlakuan tersebut.
Catcalling merupakan salah satu hasil dari budaya patriarki. Penempatan laki-laki di atas perempuan menyebabkan terjadinya relasi kuasa sehingga tidak tercapai kesetaraan gender. Budaya patriarki ini bukan hanya dilanggengkan oleh laki-laki namun juga ada peran perempuan yang turut serta di dalamnya.
Perempuan dalam budaya patriarki sudah terbiasa didominasi oleh laki-laki. Karena perbedaan kedudukan itu, perempuan dianggap sebagai objek. Selain itu, budaya patriarki juga memberikan tekanan pada laki-laki. Budaya ini menciptakan keadaan di mana laki-laki dianggap jantan apabila sudah melakukan catcalling.
Tekanan tersebut yang menyebabkan laki-laki akhirnya melakukan hal itu karena adanya paksaan dari luar. Kedua hal ini dalam patriarki menyebabkan perilaku ini terus-menerus terjadi dan belum bisa diakhiri di era modern seperti sekarang ini.
Di Indonesia, kasus catcalling sudah dianggap biasa oleh masyarakat setempat, biasanya bisa ditemukan di tempat umum. Contohnya, transportasi umum, jalan raya maupun tempat tinggal sekitar.
Pada 2014, Jakarta ditempatkan sebagai urutan kelima yang memiliki transportasi umum paling berbahaya dari 15 kota besar di dunia (Thomson Reuters Foundation, 2014).
Kasus catcalling di Indonesia ini masih belum dianggap menjadi hal yang serius. Melainkan, perilaku ini menjadi risiko bagi wanita ketika memutuskan untuk berpergian sendiri.
Upaya untuk mengurangi tindakan tersebut atau menghukum catcaller masih dikatakan minim. Hal ini mengingat belum adanya aturan yang spesifik sebagai dasar dari tindakan ini. Hukum yang mengatur tindakan pelecehan seksual secara verbal ini sangat diperlukan karena banyak dampak dari catcalling bagi wanita.
Di Indonesia, pelecehan seksual belum dapat diinternalisasi. Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengenal istilah perbuatan cabul yang diatur pada Pasal 289-296 dengan artian perbuatan yang melanggar kesusilaan, perbuatan keji dan dalam nafsu birahi (HukumOnline, 2011).
Catcalling berada pada tindakan pelecehan seksual verbal yang masih jauh dari kata perbuatan keji ataupun kekerasan. Namun, istilah kesopanan dan kesusilaan juga belum diatur dalam KHUP, sehingga belum ada aturan pasti mengenai batasan dan hukuman tindakan ini.
Perkembangan untuk mengurangi tindakan ini sebagian besar terbatas dengan usaha preventif. Bagi wanita, mereka harus menghindari perilaku seperti cara berpakaian hingga menghindari ruang publik di malam hari. Selain memakai baju sopan yang tidak mengundang godaan dari orang-orang sekitar san menahan diri berpergian sendirian di malam hari, mereka perlu mengajak orang lain untuk menemaninya.
Mereka juga bisa mencari jalan lain kalau dikira jalan yang ingin dilewati terdapat segerombolan laki-laki, serta berusaha tenang dan mengacuhkan jika sudah terkena catcalling. Apabila tubuh kamu di sentuh, jangan diam saja langsung beranikan diri untuk lawan dengan cara pukul orangnya atau teriak.
Secara tidak langsung, ini menjadi bentuk diskriminasi berbasis gender. Hal ini dapat memungkinkan kekerasan psikologis dan menghalangi wanita mendapatkan kesetaraan. Keberadaan peraturan mengenai tindakan catcalling ini menjadi semakin penting karena dapat menjadi awal meningkatkan kesadaran para catcaller mengenai dampak yang mungkin terjadi pada wanita atas tindakannya tersebut.
Segala bentuk pelecahan bentuk apapun besar maupun kecil suatu pelecahan harus ditindak tegas. Meskipun termasuk pelecehan verbal, tindakan ini masih masuk ke dalam pelecehan seksual yang tidak seharusnya dilakukan untuk candaan semata. Tak hanya itu, seharusnya pelaku catcalling diberikan sanksi agar menjadi jera.