Sekalipun pasal 616 RKUHP menyebutkan tindak pidana korupsi sebagai salah satu tindak pidana yang dapat dikriminalisasi sekalipun baru dalam tahap perbuatan persiapan, namun sesungguhnya hiangga saat ini UU Tipikor No. 31/1999 belum secara tegas mengatur hal tersebut.
Berdasarkan logika seharusnya kita dapat menyimpulkan perbuatan persiapan melakukan tindak pidana korupsi sebagai perilaku yang dapat dipidana, mengingat UU 31/1999 mengatur tentang pemidanaan terhadap permufakatan melakukan tindak pidana korupsi. Perbuatan persiapan adalah merupakan perbuatan lanjutan dari suatu permufakatan. Bahkan dalam penjelasan UU No. 3 tahun 1971, sebagai UU Tipikor yang pertama mengatur kriminalisasi permufakatan tindak pidana korupsi menyatakan:
“Ayat (2). Karena tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan/perekonomian negara, maka percobaan untuk melakukan tindak pidana tersebut dijadikan delik tersendiri dan diancam dengan hukuman sama dengan ancaman bagi tindak pidana itu sendiri yang telah selesai dilakukan. Demikian pula mengingat sifat dari tindak pidana korupsi itu, maka permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi meskipun masih merupakan tindakan persiapan sudah dapat dipidana penuh sebagai suatu tindak pidana tersendiri.”
Penjelasan pasal 1 ayat (2) UU No. 3/1971 mengkualifikasi permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagai tindakan persiapan yang sudah dapat dipidana. Sehingga berdasarkan penjelasan tersebut perbuatan persiapan melakukan tindak pidana korupsi adalah merupakan perbuatan yang dapat dipidana berdasarkan UU No. 3/1971.
UU No. 31/1999 yang menggantikan UU No. 3/1971 mengadopsi kriminalisasi permufakatan jahat melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dirumuskan dalam pasal 15 UU 31/1999, namun dalam penjelasan pasal 15 tersebut, tidak secara eksplisit menyebutkan permufakatan jahat sebagai tindakan persiapan sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan pasal 1 ayat (2) UU no. 3/1971.
Kriminalisasi perbuatan persiapan melakukan tindak pidana korupsi bukan semata-mata dipengaruhi oleh 174 rekomendasi UNCAC karena sejak tahun 1971 sudah dirasakan oleh pembentuk undang-undang mengenai adanya kebutuhan akan hal tersebut dalam memerangi tindak pidana korupsi di Indonesia. Pada saat itu, kebutuhan tersebut disebabkan adanya kesadaran bahwa tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana yang berdampak sangat serius dan dipandang sebagai dapat mengancam keamanan negara sebagaimana dimaksudkan dalam buku II Bab ke 1 KUHP.
Dalam hal ini keamanan negara terancam bukan dari luar tetapi dari dalam. Hal dapat kita lihat dalam Jawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum Babak 1 para anggota DPRGR mengenai rancangan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Suasana kebatinan seperti itulah yang mendorong perumus UU No. 3 tahun 1971 untuk mengatur permufakatan melakukan tindak pidana korupsi sebagai perbuatan yang perlu dipidana.