Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia telah seusia dengan republik ini. Hal ini dapat dilihat dari upaya kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan koruptif yang telah dimulai sejak Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai wujud baru dari Wetboek van Strafrech voor Nedeland Indie (WvSNI) melarang beberapa perbuatan yang bercorak koruptif melalui pasal-pasal yang tersebar di tiga bab dalam KUHP.
Bab-bab tersebut antara lain Bab VIII tentang Kejahatan Terhadap Penguasa Umum, Bab XXV Tentang Perbuatan Curang dan Bab XXVIII tentang Kejahatan Jabatan. Pasal-pasal yaitu Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423 dan, Pasal 435 KUHP. Pasal-pasal delik jabatan di dalam KUHP tersebut, walaupun tidak secara ekplisit menyebut tindak pidana korupsi, jangkauan pengaturannya mampu mencapai kejahatan-kejahatan dasar yang dianggap sebagai tindak pidana korupsi oleh dunia internasional seperti suap yang melibatkan pejabat publik nasional dan perbuatan curang yang dilakukan sektor swasta.
Saat ini tindak pidana korupsi dapat dijerat terhadap pelaku yang melakukan permulaan pelaksanaan. padahal korupsi merupakan extraordinary crime yang mana dalam penegakannya pula harus dilakukan secara luarbiasa. Untuk menangani tindakan gila maka harus pula dibentuk hukum yang gila. Pada Kriminalisasi terhadap perbuatan persiapan dalam tindak pidana korupsi sudah barang tentu harus dipertimbangkan dengan baik karena akan membawa cukup banyak konsekuensi.
Sebagai akibat dari kriminalisasi percobaan kejahatan, secara kasar dan sederhana, kejahatan akan bertambah menjadi dua kali lipat. Kriminalisasi terhadap perbuatan persiapan tentu akan menambah lebih banyak lagi kejahatan karena akan terdapat banyak perbuatan yang dapat dikualifikasi sebagai persiapan tindak pidana terkait. Pada intinya hendak dikemukakan bahwa kriminalisasi terhadap perbuatan persiapan akan banyak mengkualifikasi perbuatan sebagai persiapan melakukan tindak pidana.
Hal ini tidak saja akan membebani sistem peradilan pidana tetapi lebih penting dari itu adalah akan membawa konsekuensi terhadap berkurangnya kebebasan masyarakat. Karenanya tidak terhadap semua tindak pidana dapat dan perlu untuk mengkriminalisasi percobaan atau bahkan perbuatan persiapan. Sebagai contoh, pada saat ini hanya percobaan melakukan kejahatan yang dapat dipidana dan tidak terhadap percobaan melakukan pelanggaran.
Harus dipertimbangkan apakah berkurangnya kebebasan masyarakat, sebagai akibat dari kriminalisasi perbuatan persiapan, cukup seimbang dengan manfaat yang dapat diperoleh. Oleh karena itu hanya terhadap tindak pidana tertentu saja kriminalisasi terhadap perbuatan persiapan perlu dilakukan. Berkaitan dengan hal tersebut perumus RKUHP mengatur kriminalisasi perbuatan persiapan secara terbatas terhadap tindak pidana tertentu seperti makar, makar terhadap negara sahabat, sabotase dan perbuatan yang mengakibatkan bahaya kebakaran, ledakan dan banjir.
Di samping itu perumus RKUHP juga mengakui kriminalisasi perbuatan persiapan sebagaimana diatur dalam tindak pidana khusus yang 173 diatur di luar KUHP. Berkaitan dengan hal terakhir ini secara eksplisit disebutkan dalam pasal 616 RKUHP beberapa tindak pidana seperti tindak pidana berat hak asasi manusia, korupsi, terorisme, pencucian uang dan narkotika. Dalam hal terakhir ini tampaknya perumus RKUHP menyerahkan sepenuhnya kepada undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus terkait.