Bagi siapa pun yang mengikuti perkembangan dunia kegiatan mata-mata suatu negara ke negara lain, itu adalah hal yang biasa. Apalagi ketika perang dingin masih berlangsung, kegiatan mata- mata dengan operasi intelijen sangat intensif dilakukan negara-negara Blok Barat terhadap negara-negara Blok Timur dan sebaliknya. Karenanya, diperlukan instrumen baru guna mengatur pelarangan spionase. Instrumen ini dibuat deengan tujuan agar negara-negara yang memiliki teknologi mutakhir tidak secara bebas mengakses informasi sebanyak-banyaknya dari negara yang menjadi objek spionase.
Sudah seharusnya praktik spionase menjadikan pelajaran bagi setiap negara dalam mengambil keputusan. Bagi negara korban spionase, dapat saja melakukan persona non grata bagi diplomat yang di anggapnya melakukan spionase, bahkan bisa saja melakukan hal yang lebih ekstrim lagi yakni pemutusan hubungan diplomatik. Kemudian, hal tersebut dapat mengganggu suasana keharmonisan hubungan negara-negara sebagai suatu entitas masyarakat internasional.
Bilamana dalam suatu hubungan diplomatik antarnegara terjadi Spionase sebagai tindakan persona non-grata terhadap perwakilan diplomatik, Pasal 9 ayat (1) Konvensi Wina 19961 tindakan yang dapat dilakukan. Negara yang melakukan spionase, selain melakukan tindakan persona non-grata dan pemutusan hubungan diplomatik negara juga dapat diadili di Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Ini memungkinkan apabila tindakan penyadapan dan pelaku penyadapan merupakan bagian dari pemerintah suatu negara. Pasal 4 Draft articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts:
- The conduct of any State organ shall be considered an act of that State under international law, whether the organ exercises legislative, executive, judicial or any other functions, whatever position it holds in the organization of the State, and whatever its character as an organ of the Central Government or of a territorial unit of the State.
- An organ includes any person or entity which has that status in accordance with the internal law of the State.”
Pasal di atas menyatakan bahwa sikap setiap organ negara akan dianggap sebagai tindakan negara tersebut. Organ negara adalah setiap orang atau badan yang memiliki status sesuai dengan ketentuan hukum yang ada di negara tersebut. Dalam pembuktian, pihak yang dapat diperkarakan di Mahkamah Internasional hanyalah negara. Ketentuan tertaung dalam Pasal 34 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional “Only states may be parties in cases before the Court”, yang berarti bahwa hanya negara yang dapat berperkara di Mahkamah INternasional (ICJ).