“pertanyaan sederhananya, bagaimana apabila suatu kebijakan publik itu efektif dan efisien secara sistem namun ternyata merusak suatu lingkungan, atau melukai hati masyarakat?”
Dalam administrasi publik, dimensi etika dan kompetensi para aktor publik secara nyata memang merupakan 2 (dua) hal yang penting dan saling berkaitan satu sama lain. Dimensi etika dalam administrasi publik merupakan sistem sensor yang mencoba mengarahkan suatu pemerintahan beserta kekuasaan yang ada untuk bukan saja berfokus pada dimensi kebijakan, organisasi dan manajemen yang efektif dan efisien.
Dalam kerangkanya, dimensi etika memberikan pengaruh dan dampak yang lebih luas dimana keberadaannya sebagai jalan mengeleminasi serta menghilangkan kegagalan dan kejahatan administrasi publik. Dimensi etika menjadi batas pantas dan tepat bagi segala interaksi dan aktivitas yang dilaksanakan oleh para aktor dalam mengelola kepentingan publik dengan benar. Sementara kompetensi aktor publik menjadi hal yang harus dimiliki mengingat hal tersebut menjadi kemampuan dasar dalam bertindak dan melaksanakan tanggung jawab yang terarah.
Kolaborasi antara dimensi etika dan kompetensi aktor publik yang maksimal diharapkan dapat mengendalikan kepentingan para individu maupun penguasa dalam pembentukan kebijakan publik untuk berfokus kepada masalah dan kepentingan publik, yaitu rakyat. Namun pertanyaan utama selanjutnya, apakah benar dimensi etika dan kompetensi para aktor publik tersebut akan mampu mengendalikan dan menghilangkan kegagalan dan kejahatan administrasi publik ?. Apakah keberadaan dimensi etika mutlak mampu menghilangkan hal tersebut, atau justru memunculkan permasalahan etika lainnya.
Pernyataan awal yang menarik untuk dihayati tentang keberadaan dimensi etika itu sendiri adalah “kemungkinan dimensi etika tidak akan pernah dibahas apabila manusia berada pada koridor yang tepat dan baik (hidup dalam situasi tanpa hawa nafsu, tanpa adanya jiwa serigala). Dalam peradaban dunia memang harus disadari bahwa manusia merupakan makhluk yang hidup dalam kebebasan dan mampu menjadi serigala bagi sesamanya “homo homini lupus”.
Di masa lalu, istilah tersebut semakin dibenarkan dengan ditunjukannya berbagai tindakan masing-masing individu yang dapat dikatakan telah melewati batas, dimana mereka yang kuat menindas yang lemah, mereka yang kuat menggunakan pengaruh besar tersebut untuk menguasai tatanan kehidupan sosial demi menjaga kepentingan kelompok yang ada. Tanpa disadari interaksi yang terus berjalan tersebut membentuk kelompok yang lebih besar yaitu sebuah negara, yang tentu saja dipimpin oleh mereka yang memiliki kekuatan dan kekuasaan secara status sosial.
Negara yang diharapkan menjadi konsensus untuk hidup bersama dan berkeadilan bagi seluruh warganya berubah menjadi tempat untuk menciptakan keuntungan untuk kelompok tertentu. Berangkat dari situasi masa lalu khususnya tentang penderitaan tanpa akhir rakyat dan bagaimana interaksi negara dengan rakyatnya, dimensi etika mulai mendapatkan perhatian secara seksama untuk dihadirkan dalam tatanan kehidupan mulai dari interaksi antarsesama individu, kelompok maupun dalam aktivitas negara.
Keinginan tersebut telah menyebabkan adanya pemberontakan dan perlawanan lebih lanjut dari rakyat kepada para penguasa (raja-raja) untuk bertindak dengan bijak dan bermoral. Keinginan rakyat untuk menciptakan kehidupan yang damai dan bermoral, mau tidak mau memaksa para penguasa melepas gagasan “negara iblis” menuju pada “negara bermoral”.
Dengan adanya pergerakan rakyat tersebut maka hadirlah berbagai nilai moral universal yang mampu mengendalikan dan membimbing setiap interaksi yang ada baik antar individu dengan individu maupun individu dengan negara (para penguasa, para pejabat publik).
Pernyataan Machiavelli (1469-1527) bahwa tindakan-tindakan yang jahat pun dapat diberikan “maaf” (dimaafkan) oleh masyarakat asal saja penguasa mencapai sukses, nampaknya tidak dapat dibenarkan dalam kondisi masa lalu maupun masa kini. Pernyataan yang berarah pada bebas nilai tersebut nyatanya telah menyebabkan adanya tindakan-tindakan mencapai kesuksesan pemerintahan namun dilakukan dengan cara yang tidak patut dan cenderung menyakiti serta merugikan rakyat.
Dengan berbagai perjalanan yang ada maka demokrasi menjadi nilai terpenting dalam menciptakan dimensi etika publik, tidak hanya memperbaiki interaksi antar negara dengan individu maupun kelompok masyarakat, namun menciptakan peradaban manusia yang bermoral dan adil, yang berlandaskan atas konsensus bersama.
Dalam kehidupan negara yang menuju pada demokrasi yang modern, maka dimensi etika menjadi nilai yang mutlak dan memberikan pengaruh yang kuat terhadap kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dimensi etika menjadi salah satu dimensi yang mampu mempengaruhi dimensi lainnya untuk tetap berada pada jalan yang lurus dalam mencapai kebutuhan dan kepentingan publik. Misalnya dalam dimensi kebijakan, dimensi etika memiliki pengaruh yang kuat dalam membantu menghadirkan kebijakan publik yang tidak hanya berdasarkan pada asas kepastian hukum, namun juga pada asas keadilan dan kebermanfaatan.