Kendala Hukum dalam Implementasi NFT
Meskipun NFT menawarkan peluang baru dalam ekonomi dan bisnis, masih banyak masalah hukum yang terkait dengannya. Salah satu permasalahan utama adalah status hukum NFT dalam hak kekayaan intelektual. Pemilik NFT tidak secara langsung memiliki hak eksklusif atas karya yang mereka beli; mereka hanya memiliki token yang mencatat kepemilikan mereka terhadap aset digital tersebut.
Tujuan utama kemunculan NFT adalah untuk menghindari duplikasi ilegal yang merupakan pelanggaran hak cipta. Namun, dalam praktiknya, NFT masih memiliki kendala dalam mengklaim kepemilikan karya. Keterbukaan terhadap karya dalam transaksi NFT memungkinkan siapa pun mengklaim karya digital sebagai miliknya dengan menyematkan token.
Semua transaksi NFT dicatat secara publik dalam buku kas digital yang tidak dapat diubah, sehingga sulit untuk mengidentifikasi tindakan pencurian karya (art theft) dalam NFT. Ini menciptakan tantangan baru dalam perlindungan hak cipta, terutama dalam konteks karya seni digital yang berkembang pesat.
Perlindungan Hak Cipta NFT di Indonesia
Di Indonesia, dasar-dasar perlindungan hak cipta diatur dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014. Namun, ketika kita mempertimbangkan perlindungan hak cipta dalam konteks NFT, unsur digital yang mendominasi NFT tidak dapat diabaikan. Karena NFT masih merupakan teknologi yang relatif baru, regulasi yang konkret dan relevan masih sangat diperlukan.
Dalam kerangka Kekayaan Intelektual, NFT dilihat sebagai alat penyederhana dengan kepemilikan atau milik pribadi yang tidak berwujud. Hal ini berarti bahwa pemilik NFT tidak memiliki hak yang tidak terbatas atas karya yang mereka miliki. Ketika seorang seniman atau kreator ingin mentransfer kepemilikan karyanya kepada pembeli menggunakan smart contract, masih ada kelemahan dalam penerapannya.