Banyak para sarjana hukum yang membatasi normativitas hukum hanya pada bentuk formalnya. Ini seperti menyatakan rasa cinta hanya dengan menyematkan cincin perkawinan, tanpa ada kelanjutannya.
Para sarjana hukum sering mengklaim bahwa ilmu hukum bersifat “sui generis”. Lalu apakah ilmu hukum menutup pintu untuk bekerja sama dengan ranah ilmu lain secara interdisipliner? Apabila kita membaca beberapa literatur misalnya yang ditulis oleh Philiphus M. Hadjon atau Peter Mahmud Marzuki, ilmu hukum disebut “sui generis” yang tidak ada bentuk ilmu lain dapat dibandingkan dengan meletakkan suatu disiplin ilmu. Ilmu hukum memiliki karakter normatif, baik itu terminologi, jenis, dan lapisan ilmu hukum yang tidak dimiliki oleh ilmu-ilmu lain.
Karakter Normatif Ilmu Hukum
Untuk memahami apakah ilmu hukum itu berkarakter normatif, kita membedah dulu yang disebut normatif. Kata “normatif” mengarahkan makna perilaku yang seharusnya dilakukan oleh manusia, tidak deterministik karena itu memungkinkan terjadinya pelanggaran, inilah yang kita sebut sebagai norma. Hal ini pula menjadi alasan mengapa dalam kosakata hukum ditemukan istilah perbuatan melanggar hukum dan perbuatan melawan hukum. Ambil contoh larangan bagi semua orang untuk berkumpul masa pandemi, maupun norma yang mewajibkan kita menggunakan masker.
Apakah semua orang mematuhi perintah norma hukum. tentu ada sebagian yang mematuhi norma dan sebagian yang lain mungkin melanggarnya, itulah mengapa norma hukum biasanya mengandung atau mengatur tentang sanksi agar norma hukum dipatuhi.
Hal ini yang menjadi pembeda dengan hukum alam atau ilmu-ilmu eksak lainnya, misalnya “gelas ini saya lepaskan” kira-kira ia akan jatuh kemana, tentu jatuh kebawah. kalau misalnya gelas ini bisa ngomong “saya ingin jatuh keatas, klo kebawah saya akan rusak, tapi apalah daya, saya hanya benda”. maksudnya adalah perilaku manusia dengan benda itu berbeda.
dalam hukum alam itu bersifat determinasi, keniscayaan itu lebih pasti, dan berlaku hukum kausalitas, jika gelas itu saya lepaskan tapi tidak jatuh, malah melayang-layang, maka saya sudah melanggar hukum alam. saya tidak dikenakan sanksi sebagaimana saya melanggar norma hukum. malah saya mendapat apresiasi karena telah berhasil melawan hukum alam, sebagai seorang pesulap.
itulah hukum alam, ia lebih pasti dibandingkan norma hukum, diskursus ini menarik untuk mempertanyakan ulang “kepastian hukum” yang selama ini diyakini dan diajarkan di fakultas hukum sebagai salah satu dari tiga tujuan dari hukum itu sendiri.
Apa yang disebut normatif tidak lahir dari ruang hampa, ia lahir dari rahim masyarakat dan pada akhirnya berlaku serta menjadi alasan dari keberadaan norma-norma itu sendiri. Pada poin ini muncul perdebatan, apakah hukum yang jahat sekalipun jika sudah dipositifkan akan tetap dianggap hukum.?, hukum positif yang jahat sekalipun tetap sah, karena telah dibuat oleh penguasa yang kalau kita melanggar hukum, tidak lagi melihat aspek “apakah kita orang baik atau orang jahat”, tetapi perbuatan kita telah memenuhi unsur melawan hukum.
Aliran Hukum Kodrat
sebaliknya bagi pemikir hukum kodrat, walaupun ia (hukum) dibuat oleh penguasa yang sah, tetapi apabila keutamaan nilai bertentangan dengan batasan-batasan yang ada, itu tidak layak disebut hukum, karena dianggap telah mengalami pembusukan hukum. Pada titik ini, apa yang disebut normatif bukan pada bentuk formal, tetapi apakah isinya mengandung keutamaan nilai.?
Norma tentu tidak bisa berbicara sendiri, ia memerlukan manusia untuk menafsirkannya. dengan demikian klaim Normatif adalah klaim sosiologis dan psiokolgis. artinya penafsiran si-penafsir atas norma juga dipengaruhi oleh pendidikannya, latar belakang sosialnya, maupun perspektif ideologi dari sang penafsir. Akan tetapi terkadang tidak diakui oleh si penafsir itu sendiri, sehingga dirinya mengklaim bahwa penafsiran atas norma adalah penafsiran yang objektif dan lepas dari kepentingannya, sehingga timbul perspektif seolah-olah bebas nilai.
kita sekarang menjadi tahu karakter “normatif” hukum itu sangat manusiawi sehingga mereduksi hukum hanya membatasi pada peraturan dan putusan hakim, tindakan ini telah menjadikan hukum itu kering kerontang. penulis membayangkan membatasi “Normativitas Hukum” hanya pada bentuk formalnya, sama dengan menyatakan cinta hanya sekedar menyematkan cincin, tanpa ada kelanjutannya.
klaim para sarjana hukum bahwa ilmu hukum bersifat sui generis sebetulnya lebih pada klaim Ontologis, bukan argumentasi Epistimologis, karena ilmu hukum itu tidak lahir dari ruang hampa, seharusnya dijelaskan bagaimana asal-usul ilmu, hingga bagaimana perpisahan ilmu hukum dengan ilmu-ilmu lain, bagaimana ilmu hukum kemudian menjadi ilmu tersendiri atau “sui generis”.
Namun bila hanya mengatakan ilmu hukum itu beda dengan ilmu lain sama halnya mengatakan warna abu-abu dinamakan demikian karena dia berbeda dengan hitam atau putih, padahal bisa saja abu-abu merupakan kombinasi antara hitam dan putih. Mengatakan warna itu adalah abu-abu dengan alasan dia tidak suka hitam dan putih, maka penyebutan warna abu-abu tidak memiliki signifikansi apapun
Sama halnya dengan menyebut ilmu hukum adalah ilmu yang “sui generis” karena tidak menyukai ilmu sosial maupun ilmu-ilmu humaniora, maka tidak memiliki signifikansi apapun. Salah kaprah memahami karakter normatif dalam ilmu hukum, menyebabkan fakultas hukum di Indonesia bertengkar tanpa tahu mengapa mereka berselisih dan apa yang diperselisihkan.
lebih naif lagi sikap cenderung mentutup diri, tidak membuka diri untuk bekerja sama dengan ilmu-ilmu lain sehingga menyebabkan ilmu hukum menjadi kerdil dan tidak mampu merespon perkembangan di masyarakat. terlebih lagi hukum sekarang semakin kompleks, tentu tidak mungkin ilmu hukum menutup diri dan tidak bekerja sama secara Interdisipliner dengan ranah ilmu lain.