Pengesahan RUU KUHP pada 6 Desember kemarin menjadi pengalaman yang krusial. Tak sedikit pihak menolak pengesahan tersebut karena banyaknya pasal kontroversial dan minimalnya partisipasi masyarakat. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW, 2022), KUHP saat ini cacat formil. Kondisi ini juga diperparah dengan dimasukkannya pasal tindak pidana korupsi. Padahal, sebagai kejahatan yang luar biasa seharusnya tetap diatur secara khusus.
Tindak pidana korupsi yang sebelumnya dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) kini kedudukannya sama dengan tindak pidana biasa. Dengan kata lain, korupsi yang seharusnya diatur dengan UU khusus, justru dimasukkan kedalam KUHP. Konsekuensinya, beban berat pemberantasan korupsi di Indonesia semakin bertambah karena ancaman pidana korupsi dipangkas dua tahun, sedangkan UU KPK menentukan empat tahun.
Selain pengurangan durasi hukuman, KUHP yang baru juga menentukan pemotongan denda. Pada aturan sebelumnya, denda uang Rp 200 juta, sedangkan dalam KUHP baru denda berkurang menjadi 10 juta.
Persoalan di atas sebenarnya terletak pada ketidakjelasan orientasi DPR dan pemerintah terhadap strategi yang efisien dalam pemberantasan korupsi. Selain itu, komitmen Presiden Joko Widodo pada pidato Hakordia 2022 yang mengatakan bahwa tantangan pembangunan adalah korupsi justru tidak sejalan dengan fakta yang ada.