Konvensi ini mirip dengan aturan yang diatur dalam hukum Romawi cujus est solum est usque ad coelum, yang mendalilkan, “barangsiapa memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah”.
Objek hukum udara adalah pesawat udara yang bermula dari balon udara yang pada waktu ini berevolusi jauh perkembangan transportasi udara maupun pesawat udara yang dapat dikendalikan jarak jauh dikenal sebagai drone.
Apabila merujuk kepada Article I Outer Space Treaty 1967 disebutkan, “Outer space, including the moon and other celestial bodies, shall be free for exploration and use by all States without discrimination of any kind, on a basis of equality and in accordance with international law, and there shall be free access to all areas of celestial bodies. There shall be freedom of scientific investigation in outer space, including the Moon and other celestial bodies, and States shall facilitate and encourage international cooperation in such investigation.”4 Kalimat … “shall be free for exploration and use by all States without discrimination of any kind”,…
Selanjutnya juga, Article II Outer Space Treaty 1967 dimana disebutkan, “Outer space, including the Moon and other celestial bodies, is not subject to national appropriation by claim of sovereignty, by means of use or occupation, or by any other means”.
Ketentuan di atas memberikan dasar aturan bahwa ruang angkasa tidak dapat dimiliki oleh negara manapun. Hal inilah yang untuk selanjutnya dikenal sebagai prinsip non-diskriminasi. Eksploitasi angkasa hanya bisa dilakukan oleh negara space powers belaka.