Pandangan terhadap perempuan sudah diatur sedemikian rupa baik dari segi tubuh, pikiran dan bahkan sampai ke seksualitasnya. Ini berkaitan erat dengan pengaruh nilai budaya yang berkembang pada masyarakat kita, lalu divalidasi atau dilegitimasi dengan dasar agama. Masing-masing golongan memberikan saran masukan dan mengusulkan rumusannya dalam proses pembuatan hukum, dengan kepentingan masing-masing juga. Berhadapan dengan sistem hukum seperti ini, terjadi ketakseimbangan dalam pola hubungan kekuasaan laki-laki dan perempuan.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms on Discrimination Against Women-CEDAW) yang tertuang dalam UU No. 7 Tahun 1984. Sampai saat ini konvensi ini belum dapat diimplementasikan dengan baik. Padahal, Pasal 2 butir f Konvensi ini menegaskan negara memiliki kewajiban untuk mengambil semua langkah yang tepat, termasuk legitimasi untuk mengubah atau menghapuskan hukum, peraturan, kebiasaan, dan praktik yang mendiskriminasi perempuan.
Selain membahas tentang upaya pengentasan diskriminasi terhadap perempuan, Konvensi ini turut membahas tentang prinsip kesetaraan. Konvensi tersebut menyatakan bahwa baik laki-laki maupun perempuan harus mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum; kesempatan yang sama untuk mengakses institusi pendidikan, fasilitas kesehatan dan pekerjaan; serta hak yang sama baik di ranah privat maupun publik.
Terlepas dari komitmen Pemerintah Indonesia untuk menjamin kesetaraan gender dan pengentasan diskriminasi terhadap perempuan, kelompok perempuan di Indonesia relatif masih berada di dalam posisi yang tidak diuntungkan. Sebagai contoh, di ranah ekonomi, perempuan memiliki angka Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yang lebih rendah daripada laki-laki.
Rendahnya nilai TPAK perempuan dapat dikaitkan dengan stigma yang melekat pada kelompok perempuan: bahwa perempuan tidak memiliki tempat di ranah publik, bahwa kewajiban perempuan hanyalah mengurus “dapur, sumur, dan kasur”.
Pernyataan sekaligus pertanyaan menohok tak terbantahkan dalam kenyataannya, Perempuan sudah dilindungi dan diistimewakan dibangsa ini kurang apalagi?
Pada faktanya hingga kini masih banyak UU yang bersifat diskriminatif contohnya UU Perkawinan, UU PPLN (Perlindungan dan Penempatan Pekerja Luar Negeri), UU Perlindungan Nelayan, UU Kesetaraan dan Keadilan Gender, UU Kekerasan Seksual, UU Perlindungan PRT, dan UU Kesejahteraan Sosial. Terkait hal ini posisi yang tidak menguntungkan bagi perempuan masih dirasakan.
Salah satu Perda yang dinilai diskriminatif dan masih berlaku sampai saat ini adalah Perda Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Pada Pasal 4 Ayat 1 yang berbunyi, “Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di daerah.” Hal ini sangat membatasi gerak perempuan, cara berpakaian, dan waktu pergi pada malam hari agar terhindar dari anggapan bahwa dirinya pelacur.
Permasalahan diskriminasi dan kesetaraan gender di Indonesia kerap digambarkan sebagai sesuatu yang mengerikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesenjangan dan diskriminasi memiliki derajat yang berbeda di tiap sektor. Artinya, pemerintah dan pemangku kepentingan lain (termasuk masyarakat sipil) dapat memfokuskan tenaga mereka untuk memperbaiki ketimpangan di sektor-sektor yang genting.
Kesenjangan dan diskriminasi terhadap perempuan adalah masalah, dan akan selalu menjadi masalah, terlepas apapun itu justifikasinya. Perjuangan harus terus dilakukan sampai kesetaraan dan pengentasan diskriminasi terhadap perempuan terpenuhi di seluruh lini masyarakat. Keterlibatan dan kesadaran seluruh elemen masyarakat bahwa mereka adalah pemangku kepentingan, serta optimisme yang diiringi oleh pemikiran strategis menjadi solusi yang dapat kita lakukan untuk mewujudkan cita-cita ratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Sesungguhnya diperlukan gerakan perempuan yang menaruh kepedulian terhadap keadilan bagi perempuan di Indonesia. Tujuannya tak jauhagar hukum, kebijakan, mewakili suara, hak dan kepentingan perempuan.