Dalam Pasal 284 KUHP, perzinaan (overspel) hanya mencakup masalah persetubuhan. Pasal tersebut akan berlaku jika salah satu pelaku atau keduanya masih terikat oleh hubungan perkawinan yang sah dengan orang lain. Pasal 284 ayat (2) menjelaskan zina merupakan delik aduan dan pihak yang dapat mengadu kepada pihak yang berwajib terbatas pasangan sah dari pelaku zina tersebut.
Pertanyaannya adalah, apakah hubungan seks suka sama suka yang dilakukan orang dewasa yang kedua belum terikat pernikahan bisa dikenakan delik pidana?
Pertanyaan ini dapat menjadi multitafsir, yang dicari di sini siapa yang dinyatakan atau menjadi korban. Syarat yang diberikan nantinya akan menghilangkan delik aduan, artinya negara memiliki hak untuk melakukan intervensi ranah privat setiap warga negaranya dan hal ini akan membuat kondisi semakin runyam.
Perbuatan zina memang sangat tidak dibenarkan menurut norma sosial dan norma agama. Agama apapun pasti melarang perbuatan tersebut karena termasuk perbuatan tercela, disini artinya perbuatan tercela tidak sama dengan tindak pidana. Proses hukum dapat berjalan apabila menjadi pilihan akhir dari penyelesaian (ultimum remodium). Yang mana hal ini haruslah disertai kriteria umum yang harus ditetapkan:
Pertama, apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan atau dapat mendatangkan korban.
Kedua, apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.
Ketiga, apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya.
Keempat, apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa Indonesia, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.
Beralih pada KUHP baru yang disahkan awal 2023 lalu (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) pada Pasal 411 ayat (1) dijelaskan bahwa setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dapat dipidana karena perzinaan. Pidana tersebut dapat berbentuk pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.
Kemudian, Pasal 412 ayat (1) KUHP baru mengatur bahwa setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dapat dipidana. Pidana tersebut dapat berbentuk pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II. Pasal 413 KUHP menjelaskan juga bahwa setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang tersebut merupakan anggota keluarga batihnya dapat pidana. Pidana tersebut berbentuk pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
Namun untuk mempidanakan pelaku kumpul kebo tidak mudah karena harus dengan delik aduan, yang berhak mengadukan yaitu:
1. Suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau
2. Orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
KUHP baru mungkin secara keseluruhan membawa nilai positif terhadap pembaruan hukum pidana di Indonesia. Namun, dirinya juga tidak menampikan bahwa masih diperlukan instrumen untuk memperjelas penerapan pasal-pasalnya.
Sementara itu, Pasal 58 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengatur megenai perkawinan menentukan, “janji-janji kawin tidak menimbulkan hak guna menuntut di muka hakim akan berlangsungnya perkawinan, pun tidak guna menuntut penggantian biaya, rugi, dan bunga, akibat kecederaan yang dilakukan terhadapnya. Segala persetujuan untuk ganti rugi dalam hal ini adalah batal”.
Pasal 58 KUHPerdata merumuskan tiga hal. Pertama, janji menikahi tidak menimbulkan hak untuk menuntut di muka hakim untuk dilangsungkan perkawinan. Juga tidak menimbulkan hak untuk menuntut penggantian biaya, kerugian, dan bunga, akibat tidak dipenuhinya janji itu. Semua persetujuan ganti rugi dalam hal ini adalah batal. Kedua, jika pemberitahuan nikah telah diikuti suatu pengumuman, hal ini dapat menjadi dasar untuk menuntut kerugian. Ketiga, masa daluarsa untuk menuntut ganti rugi tersebut adalah 18 bulan terhitung sejak pengumuman rencana perkawinan.
Jadi pemberitahuan kawin yang telah diikuti oleh pengumuman dapat menjadi dasar untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga berdasarkan kerugian-kerugian yang nyata diderita oleh satu pihak atas barang-barangnya sebagai akibat dan penolakan pihak lain. Kerugian baik fisik, psikis, batin, seksualitasnya, ekonominya, maka bisa dilakukan gugatan ke pengadilan, bahkan bisa dijerat pidana dengan pasal penipuan. Lalu, mengenai perbuatan melawan hukum, perbuatan zina atas dasar suka sama suka diartikan sebagai perbuatan yang tidak pantas dalam lingkup kesusilaan masyarakat.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana memperjuangkan hak perempuan? Pada praktiknya, karena perempuan dan ayah biologis ini tidak kawin, pihak yang yang bisa diperjuangkan memperoleh pengakuan anak untuk mempunyai hak waris sebagai mana klausul Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi. Hal itu dilakukan dengan menghadap dan negosiasi ke keluarga ayah biologis anak tersebut serta negosiasi secara kekeluargaan untuk menentukan pemberian nafkah yang dituangkan pada perjanjian kesepakatan bersama.
Mekanisme pengakuan anak, yang mencakup mekanisme pencatatan pengakuan anak, terdapat pada Pasal 49 Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.