Pengadilan Negeri Bengkalis terletak di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Karena letaknya yang jauh dari pusat kota, wilayah ini seringkali digunakan sebagai tempat transaksi transnasional “narkotika”. Pengadilan Negeri Bengkalis tercatat telah menangani 398 perkara pidana, 200 diantaranya merupakan kasus narkotika. Karena banyaknya terpidana kasus narkotika yang dihukum mati, timbul kasus Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH).
Dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Komisi Yudisial RI Nomor 8 Tahun 2013 dijelaskan definisi dari PMKH. PMKH yakni perbuatan orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang mengganggu proses pengadilan, atau hakim memeriksa, mengadili, mengutus perkara, mengancam keamanan hakim di dalam maupun di luar persidangan, menghina hakim dan pengadilan.
Beberapa contoh PMKH yang terjadi berupa aksi terror di rumah dinas hakim, seperti menyebarkan bangkai binatang di halaman rumah dinas, mencoret dinding rumah dinas dengan gambar yang tidak senonoh, serta perusakan fasilitas di rumah dinas seperti mobil dinas.
Dalam tulisan ini, kasus PMKH, seharusnya dapat dikenakan Pasal 411 KUHP yang menyatakan bahwa “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau, sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Pengenaan pasal ini karena terbukti pelaku merusak fasilitas di area rumah dinas.
Selain itu, mencoret dinding dengan gambar tidak senonoh juga dapat dikenakan sanksi Pasal 207 KUHP yang menyatakan, “Barangsiapa dengan sengaja dimuka umum, dengan lisan atau tulisan menghina sesuatu kekuasaan yang ada di Negara Indonesia atau sesuatu majelis umum yang ada disana dihukum penjara selama-lamanya satu tahun enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-.” Selanjutnya, proses terhadap PMKH tersebut akan diproses oleh pengadilan.
Kasus PMKH sering terjadi karena dua faktor, yakni faktor eksternal dan internal penegak hukum itu sendiri. Faktor eksternal yaitu dari para pelaku PMKH yang biasanya terjadi karena tidak puas dengan putusan hakim.
Faktor internal bisa disebabkan karena: pertama, adanya Operasi Tangkap Tangan (OTT) kepada hakim yang berkorupsi, sehingga hal ini menyebabkan citra seluruh hakim buruk. Kedua, kurangnya sinergitas pengawasan berjenjang yang sesuai dengan SEMA Nomor 8 Tahun 2016. Ketiga, kurangnya pemahaman hakim akan kearifan lokal masyarakat (hukum adat). Keempat, kurangnya akuntabilitas dan transparansi dalam proses pengadilan.
Kurangnya pengetahuan advokasi yang merupakan salah satu fungsi Komisi Yudisial (KY) juga menjadi salah satu faktor banyaknya kasus PMKH. Hal ini tertuang dalam Peraturan Komisi Yudisial Nomor 8 Tahun 2013. Tugas KY telah diterjemahkan dalam tiga bentuk, yakni: pertama, mengawasi jika hakim terindikasi melakukan penyimpangan etika dan perilaku. Kedua, ditujukan agar hakim dapat membuat putusan adil yaitu dengan peningkatan kapasitas hakim melalui pelatihan dan pencegahan. Ketiga, melakukan advokasi hakim dimana hakim yang mengemban atribut kekuasaan independen merdeka harus dijaga.
Pentingnya tugas KY adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hakim dan pengadilan serta mengawasi kinerja hakim di persidangan dalam memutus suatu perkara. KY memberikan sosialisasi terkait tugas dan fungsi seorang hakim kepada masyarakat juga menjadi tugas penting KY.
Dengan demikian optimalisasi terhadap fungsi advokasi hakim oleh KY juga seharusnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Terlebih lagi, selain KY juga terdapat lembaga pengawas hakim yaitu pengawas internal Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA). Ketidaktahuan masyarakat tentang perlindungan bagi pelapor berakibat paca masyarakat melakukan tindakan sesuai keinginannya.
Salah satu upaya KY menjalankan fungsi advokasi adalah dengan membentuk satu program yang dikenal dengan Klinik Etik Advokasi (KEA) dengan menggandeng tujuh perguruan tinggi, yang salah satunya adalah Universitas Islam Indonesia. Dalam kegiatan KEA Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Tahun 2022, penulis berkesempatan untuk melakukan observasi di pengadilan terkait PMKH dan tata tertib dalam persidangan.
Dalam observasi tersebut penulis melihat belum cukup optimal para petugas dan beberapa hakim terkait PMKH. Terbukti ketika penulis bertanya terkait apa itu PMKH, bagaimana cara menangani PMKH, lalu keamanan seperti apa yang diterapkan dalam mencegah PMKH, para petugas bahkan tidak mengetahui apa itu PMKH.
Selain itu, pemeriksaan pengunjung yang semestinya diperiksa sesuai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 tahun 2020 hanya dilakukan dalam perkara tertentu saja. Seharusnya ke depan, setiap pengadilan memiliki anggota keamanan khusus dalam menjaga persidangan, dan melakukan penggeledahan terhadap pengunjung persidangan. Sehingga sinergitas antar petugas dan penegak hukum dapat terjalin dengan baik demi keamanan dan mengurangi kasus terjadinya PMKH.