Ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegak hukum telah menjadi rahasia umum di Indonesia. Beragam akronim bernada satire akan sebuah ekspresi ketidakpercayaan masyarakat bermunculan, seperti: kasih uang habis perkara, hubungi aku kalau ingin menang, pengangguran banyak acara, dan lain sebagainya. Akronim ini tidak muncul begitu saja, namun karena memang berdasar pada kenyataan yang dirasakan oleh masyarakat. Tak heran, jika banyak orang yang begitu ingin menjadi salah satu bagian dari profesi hukum. Ingin jadi seperti Hotman Paris, katanya.
Hal semacam ini harusnya tidak terjadi karena sebelum disahkan menjadi penegak hukum, mereka telah diajarkan mengenai kode etik profesi hukum. Kode etik profesi hukum adalah kumpulan norma yang dijadikan acuan perilaku perseorangan atau korporasi dalam jabatannya sebagai pelaksana hukum dari hukum positif suatu negara. Kode etik profesi dibuat untuk mengatur bagaimana pengetahuan dan keahlian profesi tersebut digunakan, terutama dalam situasi-situasi terkait masalah moral. Pada kenyataannya, eksistensi kode etik profesi hanya menjadi formalitas. Hal ini disebabkan oleh banyak sekali seseorang berpredikat profesi hukum yang melanggar kode etik profesi hukum.
Keinginan seseorang untuk menimbun kekayaan memang tidak bisa disalahkan. Mungkin pada awalnya ketika dalam bangku pembelajaran di bidang hukum, seseorang akan menjawab menjadi hakim, jaksa, advokat, atau yang lainnya sebagai prioritas satu-satunya, apalagi untuk advokat yang memang menjadi profesi hukum dengan peminat terbanyak oleh para sarjana hukum. Namun, ketika profesi tersebut telah berhasil diraih, keinginan untuk merangkap jabatan menjadi sasaran.
Dilema Rangkap Profesi dalam Kode Etik Advokat