Tidak keliru jika dimaknai bahwa seluruh pasal UU PPP berkedudukan awal sebagai lex scripta seolah gugur dan berubah nasib menjadi lex non scripta. Pasal 42A sebagai pasal yang dipaksa bersifat lex scripta secara tunggal di antara pasal-pasal lainnya.
Sederhananya, HAM adalah lex scripta karena terlegitimasi dalam UU No. 39/1999 tentang HAM. UU ini berfungsi sebagai peraturan untuk melindungi HAM, mengatur hak warga negara dan hal-hal yang lain yang berhubungan dengan hak-kewajiban antarmanusia. Perlindungan profesi para jurnalis juga lex scripta karena UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah peraturan yang lahir untuk melindungi aktivitas pers/media/jurnalis.
Lalu, bagaimana nasib UU PPP ketika sudah sah atas perubahan keduanya? Semoga kekhawatirkan karena pelemahan UU PPP tidak serta merta menjadi legitimasi terhadap peraturan lainnya. Atau, juga semoga tidak menempatkan putusan MK terhadap UU Cipta kerja menjadi yurisprudensi terhadap UU lainnya yang sedang dalam tahap uji materi.
Jika terjadi lagi, MK hanya menjadi ruang ‘formalitas’ atas kejahatan ‘mafia hukum’ yang menjadikan hukum sebagai ruang transaksi dan cindera mata kepentingan politik dengan target segala kepentingannya dilindungi oleh UU.
Mari kita akhiri opini ini dengan harapan bahwa Pasal 2 UU PPP tetap menjadi imunitas segala peraturan perundang-undangan dan produk hukum secara menyeluruh dan semoga tidak dirombaknya Pasal 7 dengan ketentuan yang absurd.