Perubahan UU PPP menjadi UU No. 15/2019 (Perubahan Pertama UU PPP) dirasa tidak terlalu menghadirkan kekhawatiran. Hal ini karena Pasal 2 dan 7 tetap berdiri tegak tanpa perubahan frasa/makna dan penambahan narasi-narasi yang ambigu.
Memang, perubahan kembali UU PPP menjadi UU No 13/2022 (Perubahan Kedua UU PPP) tetap tidak mengubah kedudukan Pasal 2 dan 7. Terdapat beberapa catatan atas perubahan kedua UU PPP yang terletak pada penambahan sub Pasal 42. Sebelumnya secara tunggal hanya termaktub Pasal 42 ditambahkan menjadi Pasal 42A yang berbunyi, “Penggunaan metode omnibus dalam penyusunan suatu Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus ditetapkan dalam dokumen perencanaan.” Setelah perubahan kedua, pasal ini menjadi ambigu yang dimana yang menjadikan pelemahan dan pergeseran makna secara keseluruhan di batang tubuh UU PPP.
Penambahan Pasal 42A tersebut didasari oleh egosientris akibat dampak dari Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menguji UU No. 11/2020 tentang Cipta kerja. Putusan ini menyatakan:
“Pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan’. Menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini,”
Putusan tersebut mengakibatkan UU Cipta Kerja dikembalikan kepada DPR RI untuk ditinjau Kembali. Tidak heran, sejak putusan tersebut diucapkan, DPR RI memutuskan untuk ‘Kejar Tayang’ dalam perapihan revisi UU Cipta Kerja.
Sedikit di luar nalar karena kedudukan dan keberadaan UU PPP dikaitan sebagai penyebab ditolaknya UU Cipta Kerja. Putusan MK yang meminta DPR bersama Presiden merevisi UU Cipta kerja justru kedua lembaga tersebut merenggut tegaknya UU PPP yang dipaksa harus direvisi agar UU Cipta Kerja menjadi konstitusional.
Tidak rasional, sebuah UU yang telah ditetapkan dan difungsikan sebagai kompas pengaturan teknis lahirnya peraturan perundang-undangan justru direvisi dengan menambahkan Pasal 42A, yaitu “Undang-Undang yang mengatur mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan, yang wajib mengikuti serangkaian proses sebagaimana yang diatur didalam pasal 42A.” Tidak salah bukan jika akhirnya kita analogikan seperti itu?