Hak asasi manusia (HAM) merupakan suatu hak fundamental yang melekat pada diri pribadi manusia dan tidak boleh dilanggar keberadaan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Namun dewasa ini, Pelanggaran HAM seringkali dijumpai kepada masyarakat khususnya kepada para pencari keadilan dan pembela HAM. Diskriminasi serta penyerangan baik verbal maupun non-verbal seringkali dilontarkan kepada para pencari keadilan dan pembela HAM. Terlebih lagi, di masa Pandemi COVID-19, di mana situasi serta kondisi menjadi prioritas tersendiri bagi beberapa pihak menjadikan pelanggaran HAM menjadi isu dan permasalahan yang serius.
Dikutip dari “ELSAM” ditemukan bahwa selama caturwulan (4 bulan) pertama pada tahun 2020 telah terjadi sebanyak 22 kasus kekerasan kepada Pembela HAM salah satunya atas Lingkungan dengan persebaran kasus mencapai 10 Provinsi dan 14 kabupaten/kota. Kasus-kasus ini melibatkan delapan jenis tindakan, yakni penangkapan dan perusakan sebagai jumlah terbanyak 8 tindakan. Diikuti penahanan (4), intimidasi (4), serangan fisik (1), perampasan tanah (1), dan pembunuhan (1), yang mengakibatkan 69 individu dan 8 kelompok Pembela HAM atas Lingkungan menjadi korban.
Sementara dikutip dari “Komisi Nasional Hak Asasi Manusia” (Komnas Ham) berdasarkan pemantauan yang telah dilakukan oleh Kontras, persoalan dan permasalahan pelanggaran HAM yang seringkali menimpa para pembela HAM adalah berupa pembubaran paksa dan penangkapan yang dilakukan secara sewenang-wenang.
“Kontras mencatat selama lima bulan pertama di 2021 terdapat 43 kasus pelanggaran terhadap pembela HAM diantaranya berupa pembubaran paksa, intimidasi, kekerasan yang dilakukan aparat penegak hukum dengan dalih pandemi dan protokol kesehatan. Ini terjadi mayoritas di Jakarta, tetapi ada juga di yang menimpa pembela HAM di daerah-daerah,” ungkap Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti.
Hal tersebut menunjukan bahwa pelanggaran HAM berupa penyerangan, perusakan dan lain-lain, menjadikan fenomena yang memprihatinkan serta menjadi keresahan tersendiri di masyarakat luas, tindakan pelaku pelanggaran dan penyerangan para pembela HAM tidak menunjukan dan merefleksikan nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi, konvenan dan seperangkat peraturan lainnya sebagaimana dimuat dalam bagian Menimbang dan Mengakui serta dalam Pasal 9 Konvenan Sipil Politik yakni :
- Menimbang, bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamirkan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, pengakuan atas harkat dan martabat serta hak-hak yang sama dan tak terpisahkan dari seluruh anggota umat manusia merupakan landasan dari kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia.
- Mengakui, bahwa hak-hak ini berasal dari harkat dan martabat yang melekat pada setiap manusia.
- Mengakui, bahwa sesuai dengan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, cita-cita manusia yang bebas untuk menikmati kebebasan sipil dan politik dan kebebasan dari ketakutan dan kemiskinan, hanya dapat dicapai apabila diciptakan kondisi dimana setiap orang dapat menikmati hak-hak sipil dan politik dan juga hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Pasal 9
“Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum”
Peraturan dan konstitusi yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia juga diatur dalam peraturan salah satunya berupa Undang-Undang yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia (HAM), sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 dan 4 Undang-Undang Hak Asasi Manusia No 39 Tahun 1999 tentang Diskriminasi dijelaskan bahwa :
Pasal 1
“Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.”
Pasal 4
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”
Dalam hal ini masyarakat sebagai pihak yang melakukan Pengawasan sosial (social control) juga memiliki sebuah partisipasi aktif di masyarakat luas sebagaimana dimuat dalam Pasal 100 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yaitu yang dimuat dalam Pasal 100 sampai 103 yaitu yang berbunyi :
Pasal 100
“Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
Pasal 101
Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia kepada Komnas HAM atau lambaga lain yang berwenang dalam rangka perlindungan penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
Pasal 102
“Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak untuk mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM dan atau lembaga lainnya.”
Dimana dalam hal ini disamping Undang-Undang HAM yang mengatur tentang regulasi dan hak-hak asasi manusia meliputi kesetaraan dan kesamaan di hadapan hukum serta larangan diskriminasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), para pencari keadilan dan pembela HAM juga berhak mendapatkan akomodasi berupa bantuan secara hukum sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Bantuan Hukum No 11 Tahun 2016 sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 yang memuat tentang Penyelenggaraan Bantuan Hukum yang bertujuan untuk:
- menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan;
- mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum.
Dalam hal ini penyebab adanya pelanggaran berupa penyerangan pada pembela HAM disebabkan karenanya adanya gesekan serta pebedaan kepentingan antara para-para pihak yang bersangkutan, perbedaan mendasar tersebut dilatarbelakangi terkait materi dan substansi serta nilai-nilai tertentu yang menimbulkan suatu konflik yang meluas di masyarakat luas yang menimbulkan keresahan tersendiri akibat dan dampak dari perbedaan pendapat tersebut.
Dikutip dari “KOMPAS.COM” Kepala Biro Riset Kontras Rivanlee Anandar memprakirakan, dalam kurun waktu 5 (lima) tahun ke depan pemerintah tidak memiliki inisiatif maupun keinginan untuk menyelesaikan isu yang berhubungan dengan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia di masa lalu. “Konsekuensi dari tidak terbahasnya HAM dalam pidato pelantikan, tidak akan muncul inisiasi positif dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu serta menggunakan alasan stabilitas keamanan untuk abai terhadap HAM,” ujar Rivanlee
Sehingga dalam hal ini pelanggaran HAM berupa penyerangan, kekerasan serta diskriminasi kepada pembela HAM merupakan tindakan yang sangat bertentangan dengan konstitusi regulasi yang ada tidak hanya dimuat dalam Undang-Undang Dasar, melainkan dimuat dalam perjanjian, konvenan, serta piagam Internasional yang substansinya membahas dan mengedepankan tentang Keadilan dan Persamaan atas hak asasi manusia.
Penyerangan dan pelanggaran HAM juga tidak dibenarkan di mata hukum dan dari sudut pandang manapun yang merampas hak-hak yang dimuat dalam substansi dasar peraturan HAM, terlebih di masa pandemi COVID-19 yang menjadikan tantangan tersendiri terkait efektivitas dan efisiensi penegakan HAM.
Harapannya, pemerintah dapat lebih tegas dan komperhensif lagi dalam melakukan penegakan hukum dan sosial atas pelanggaran HAM, penegakan hukum serta sosial atas HAM dapat dilakukan dengan berbagai hal. Salah satunya yaitu dengan sikap yang responsif oleh Pemerintah apabila mengetahui terdapat pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi baik secara pribadi maupun melalui lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lembaga-lembaga kemanusiaan lainnya.
Pemerintah juga dalam hal ini sebagai institusi publik yang memiliki kewenangan dalam upaya penegakan HAM baik secara preventif dan represif harus lebih bijak dalam melakukan upaya penegakan HAM secara menyeluruh, guna menekan angka pelanggaran HAM yang terjadi di masyarakat luas terlebih di masa Pandemi COVID-19.
Baca juga:
- Risiko Korupsi Pengadaan Publik (Public Procurement) di Masa Pandemi
- DPR, Etika, Omnibus Law dan Pandemi COVID-19
- Pandemi COVID-19 dan Pelanggaran HAM
- Penanganan COVID-19 Memicu Pelanggaran HAM?
- Urgensi Penegakan Hukum dan HAM Terhadap Pembela HAM Selama Pandemi COVID-19
- Herd Immunity Sebagai Pelanggaran HAM di Masa Pandemi COVID-19?
- Keterkaitan Force Majeure Akibat COVID-19 dalam Kontrak Perjanjian
- Kehidupan Hukum Indonesia: Dilema COVID-19
- Maraknya Perkawinan di Bawah Umur Saat Pandemi Covid-19
- Maraknya Kriminalitas di Tengah Bencana Pandemi COVID-19, Mengapa?