Sudah menjadi tradisi bagi penyidik di Indonesia dalam melakukan investigasi kriminal dengan menghadirkan tersangka dalam sebuah konferensi pers. Sebut saja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan koruptor, Badan Narkotika Nasional (BNN) menghadirkan bandar narkoba, dan Institusi Kepolisian menghadirkan pembunuh, perampok, dan lain-lain. Semuanya belum diadili pada pengadilan namun sudah dipertontonkan dalam konferensi pers. Bisa saja seseorang yang sudah terlanjur dipertontonkan ke publik tersebut nyatanya tidak terbukti pada persidangan di pengadilan, sehingga dibebaskan.
Terdapat potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam menghadirkan tersangka dalam sebuah konferensi pers. Alasannya karena melanggar asas praduga tak bersalah. Asas Presumption of innocence atau biasa disebut asas praduga tak bersalah bermakna bahwa setiap orang dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap menyatakan kesalahannya.
Ketentuan asas praduga tak bersalah terdapat pada Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman).
Pelanggaran HAM oleh Penyidik
HAM seharusnya dapat dihormati dalam bentuk perlindungan oleh negara, hukum, pemerintah, serta setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM mengatur ketentuan berkaitan dengan hak-hak tersangka yang wajib dilindungi oleh aparat penegak hukum dalam proses hukum terhadap tersangka. Ketentuan tersebut antara lain Pasal 29(1), Pasal 30, Pasal 33(1) dan Pasal 34, yang pada intinya mengatur hak-hak pribadi, perlindungan, kehormatan, tidak diperlakukan secara manusiawi dan sewenang-wenang.
Terkait dengan konferensi pers dengan mempertontonkan tersangka idealnya tidak dibenarkan. Selain melanggar asas praduga tak bersalah juga melanggar ketentuan dari prinsip HAM. Konferensi pers terhadap korban menimbulkan sanksi sosial dari masyarakat. Rasa malu tidak hanya terhadap tersangka secara personal tetapi juga keluarga tersangka akan menerima sanksi sosial karena merupakan keluarga pelaku tindak pidana. Juga, rasa aman dari pihak keluarga tersangka akan hilang karena masyarakat akan mencari tahu siapa keluarga pelaku tindak pidana tersebut, bagaimana keluarga mendidik dan mengajarkan tersangka sehingga bisa menjadi pelaku tindak pidana.
Sebenarnya yang diperlukan adalah transparansi aparat penegak hukum dalam menangani suatu perkara pidana. Penanganan tersebut mencakup sejauhmana bukti-bukti yang ditemukan dan rangkaian tindakan atau upaya yang sudah maupun direncanakan akan dilaksanakan. Sebenarnya jika yang dikejar adalah transparansi penegakan hukum, sebaiknya bukan tersangkanya yang dipertontonkan tetapi strategi-strategi penanganan hukum dan capaian-capaian penyidikan yang seharusnya diumumkan di hadapan publik.
Pengaturan dalam KUHAP tidak ada yang secara spesifik mengatur keharusan mempertontonkan tersangka suatu tindak pidana dalam konferensi pers. Perkap Nomor 21 Tahun 2011 tentang Sistem Informasi Penyidikan mengatur di mana pada era demokrasi dan keterbukaan informasi publik, setiap warga negara berhak memperoleh informasi dari penyelenggara negara secara transparan, mudah, cepat dan akurat. Sistem informasi penyidikan berfungsi kontrol atas kinerja aparat penegak hukum maupun instansi lainnya.
Perspektif Asas Praduga Tidak Bersalah
Asas praduga tidak bersalah terdapat dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan penjelasan umum angka 3 huruf c KUHAP. Asas praduga tidak bersalah merupakan salah satu bentuk perlindungan HAM. Namun faktanya, pemberlakuannya selalu berkaitan erat dengan kedudukan yang tidak beriringan antara tersangka dan aparat hukum.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.