Sistem ini bekerja di mana pemilih memilih partai politik dan calon legislatif secara terpisah pada surat suara. Sistem ini diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam sistem ini, alokasi jumlah kursi di lembaga perwakilan berdasarkan perolehan suara masing-masing partai politik secara proporsional. Pasal 168 Ayat 2 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan, “Pemilu untuk memilih anggota DPR , DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.”
Tertutup vs Terbuka
Mari kita komparasikan dari produk yang dihasilkan dari sistem proporsional tertutup,khususnya di tatanan legislatif. Merujuk artikel berjudul, “Law-Making Power in Indonesia: Beyond General Practices or Uniqueness of Constitutional System?” oleh Muhammad Rullyandi, DPR periode 2004-2009 berhasil mengesahkan sebanyak 173 UU. Faktanya, dari 173 UU tersebut hanya segelintir yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Keadaan ini berbanding terbalik dengan produk DPR RI yang dipilih melalui sistem proporsional terbuka di periode berikutnya sejak disahkannya UU 7/2017. Dalam periode berikutnya hanya ada sekitar 95 UU yang disahkan.
Pun dengan berbagai dinamika UU Ciptaker hingga UU No.1 Tahun 2023. Hal ini ditambahkan dengan indeks demokrasi Indonesia oleh Economist Intelligence Unit pada tahun 2022 dengan skor 6,71 yang cenderung mengalami stagnasi, yang masih menempatkan Indonesia dalam kategori “demokrasi cacat.”
Perdebatan yang sedang berlangsung ialah tentang apakah Indonesia akan menerapkan sistem proporsional tertutup dalam pemilihan legislatif 2024? Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menyarankan jalan tengah antarkedua sistem untuk memperbaiki sistem pemilu. Keputusan apapun yang nantinya diberikan harus dibuat dengan cermat atas potensi keuntungan dan kerugiannya.