Ketika diwawancara oleh Rolling Stone, Elon Musk sempat menyatakan bahwa dua ancaman terbesar bagi umat manusia adalah kecerdasan buatan (AI) dan krisis iklim. Hal ini mengindikasikan seriusnya permasalahan krisis iklim bagi umat manusia. Sektor industri kelapa sawit saja, contohnya, telah menyumbang 11% deforestasi, 70% emisi gas rumah kaca, polusi udara, serta polusi air yang kemudian berdampak pada terjadinya pemanasan global sehingga terjadi krisis iklim. Banyak pihak—terutama masyarakat kecil—yang secara langsung maupun tidak langsung merasakan dampaknya. Apabila tidak dilakukan upaya pencegahan, dampak krisis iklim akan sangat terasa di masa depan dan berpotensi menghantarkan makhluk hidup kepada kepunahan. Berbagai instrumen hukum nasional yang berkaitan dengan perubahan iklim dibuat untuk mencegah terjadinya kerusakan yang semakin parah di masa depan, di antaranya adalah Pasal 28H UUD 1945, UU No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Perjanjian Paris, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup hingga peraturan turunannya seperti PP No. 46 Tahun 2017 tentang Intrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, P.32/Menlhk/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, dan lain-lain.
Berbekal dari peraturan-peraturan tersebut, upaya mengantisipasi dampak perubahan iklim semakin giat dilakukan yang salah satu caranya adalah melalui mitigasi dan adaptasi. Menurut UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change), mitigasi merupakan upaya intervensi oleh manusia dalam rangka mengurangi sumber atau penambah gas rumah kaca (GRK) yang telah menimbulkan pemanasan global. Sedangkan adaptasi merupakan upaya dalam menghadapi perubahan iklim dengan melakukan penyesuaian yang tepat, bertindak untuk mengurangi berbagai pengaruh negatifnya, atau memanfaatkan dampak positifnya. Upaya mitigasi memiliki tujuan untuk meningkatkan kapasitas penyerapan karbon dan pengurangan emisi gas-gas rumah kaca (GRK) ke atmosfir yang berpotensi menipiskan lapisan ozon. Sedangkan, upaya adaptasi merupakan Tindakan penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif dari perubahan iklim yang bertujuan untuk:
(1) mengurangi kerentanan sosial ekonomi,dan lingkungan yang bersumber dari peubahan iklim;
(2) meningkatkan daya tahan masyarakat dan ekosistem, dan
(3) meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup, tujuan jangka panjangnya adalah terintegrasinya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan nasional dengan mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan ekologi. Selain itu, harus dapat selaras dan terintegrasi dengan usaha pemberantasan kemiskinan dan kegiatan pembangunan ekonomi karena masyarakat miskin merupakan golongan yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Upaya mitigasi dan adaptasi diimplementasikan oleh Pemerintah Indonesia melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dan kemudian diterjemahkan dalam RPJMN 2004-2009 sampai RPJMN 2015-2019, serta dalam kebijakan-kebijakan pembangunan untuk mengantisipasi perubahan iklim. Sementara itu, upaya antisipasi perubahan iklim yang lebih spesifik dituangkan dalam dokumen Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim (RAN-PI) dan Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR).
Sayangnya, berbagai upaya serta peraturan yang telah dikeluarkan, hingga saat ini dalam praktiknya belum dilaksanakan dengan baik. Persepsi para pemangku kekuasaan yang selama ini hanya melihat perubahan iklim sebagai permasalahan lingkungan hidup semata serta bertendensi melimpahkan seluruh tanggungjawab kepada Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi bertentangan dengan pernyataan UNDP bahwa seluruh kementerian dan Lembaga harus terlibat dalam upaya penanganan perubahan iklim karena isu ini berdampak terhadap semua sektor dan sendi kehidupan manusia. Terlebih, terdapat inkonsistensi peraturan yang kemudian malah memberikan karpet merah bagi para pelaku usaha untuk terus menghasilkan eksternalitas negatif dari industri yang dijalankannya.
Eksternalitas negatif yang dirasakan pihak terdampak akibat potensi perusakan lingkungan yang mengakibatkan perubahan iklim pun tidak jarang membuat mereka yang terdampak melayangkan gugatan ke pengadilan atau yang biasa disebut dengan litigasi perubahan iklim. Litigasi perubahan iklim merupakan istilah yang cukup umum digunakan yang mencakup perselisihan terkait dengan perubahan iklim—seperti langkah-langkah mitigasi dan adaptasi, maupun litigasi untuk mengkatalisasi perubahan sosial, hukum, dan kebijakan dalam isu perubahan iklim. Terdapat dua strategi yang umum digunakan dalam litigasi perubahan iklim. Pertama, strategic public climate change litigation yang memiliki tujuan untuk mempengaruhi kebijakan terkait perubahan iklim—umumnya dalam kasus ini pemerintah menjadi pihak tergugat. Kedua, strategic private climate litigation yang berdasakan pada kewajiban subjek hukum terhadap subjek hukum lainnya merupakan bagian dari litigasi privat. Hingga saat ini, strategi litigasi perubahan iklim melalui ranah privat menjadi salah satu strategi yang memiliki prospek. Terdapat dua alasan yang dikemukakan oleh Hinteregger. Pertama, pilihan untuk menggunakan gugatan melalui sektor privat berpotensi mendorong perhatian publik terhadap permasalahan perubahan iklim. Kedua, gugatan privat jauh lebih efisien karena telah dianggap menjadi ranah yang dapat dijangkau di seluruh penjuru dunia. Selain itu, gugatan privat mempunyai fungsi preventif dan remediasi, sehingga dalam konteks perubahan iklim, gugatan ini dapat mendorong korporasi untuk beradaptasi terhadap kebiasan untuk mengurangi emisi. Hal tersebut membuat litigasi perubahan iklim melalui ranah privat menjadi opsi yang banyak dipilih oleh publik.