Secara fungsional, hakim memegang peranan inti dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Kekuasaan yang merdeka dalam menyelenggarakan peradilan demi menegakkan hukum dan keadilan. Sebagai pejabat peradilan negara, hakim telah diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib untuk menjaga kemandirian peradilan.
Segala campur tangan pihak lain diluar kekuasaan kehakiman yang dapat mempengaruhi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara dilarang, kecuali hal-hal yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sebagai contoh, baru-baru saja terdapat kasus penyuapan terhadap hakim Pengadilan Negeri Surabaya yakni Itong Isnaeni Hidayat yang juga melibatkan Hamdan (Panitera Pengganti) sebagai penerima suap dari Hendro Kasiono (pengacara sekaligus perwakilan (PT Soyu Giri Primedika) yang ditetapkan sebagai pemberi suap. Hendro disangka memberikan suap kepada Itong Isnaeni agar putusan terhadap perkara PT Soyu Giri Primedika sesuai keinginannya. Dia ingin perusahaan itu dinyatakan bubar dengan nilai aset Rp 50 miliar dan bisa dibagi. Itong memimpin sidang tersebut. KPK menduga jumlah uang yang diberikan totalnya Rp 140 juta.
Hal yang dilakukan hakim tersebut tentu sangat tidak mencerminkan kode etik hakim karena telah mencoreng eksistensi hukum di Indonesia melalui hakim yang seharusnya memberi contoh yang baik dan menegakkan hukum. Padahal, sudah terlihat jelas bahwa para penegak hukum dilambangkan dengan mata tertutup dan tangan yang membawa pedang yang dimana artinya sebagai penegak hukum tidak hanya memahami maknanya, tapi juga diterapkan dalam pelaksanaannya.