Dasar pertimbangan hakim MK membuat putusan yang bersifat positive legislature mencangkup dua jenis pertimbangan hukum, pertama untuk menjamin hak-hak konstitusional warga negara dan kedua pertimbangan argumentasi. Pertimbangan menggali, mengikuti, dan memahami nilai – nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini dilakukan dalam rangka mewujudkan keadilan substantif. Pertimbangan argumentasi yaitu melalui metode penafsiran untuk menemukan hukum. Sehingga pada putusan positive legislature yang dikaji dalam penelitian ini.
Hakim MK didalam melakukan pengujian konstitusionalitas suatu Undang – undang tidak hanya berpikir dengan pertimbangan sempit, yaitu hanya memeriksa apakah undang-undang tersebut bertentangan atau tidak dengan UUD NRI 1945. MK harus mampu melihat dan menjangkau dengan perspektif yang lebih luas. Putusan MK tidak boleh berisi norma (bersifat mengatur), MK tidak boleh memutus melebihi permohonan (ultra petita), atau dalam hal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), MK hanya berwenang memutus perselisihan atau kesalahan rekapitulasi penghitungan suara. Namun, praktiknya rambu-rambu tersebut sulit selalu ditaati.
MK terkadang perlu membuat terobosan-terobosan hukum untuk mewujudkan keadilan. Perkembangannya, ada beberapa putusan MK yang bersifat ultra petita (tidak diminta) yang mengarah pada intervensi ke dalam bidang legislasi, ada juga putusan yang dapat dinilai melanggar asas nemo judex in causa sua (larangan memutus hal – hal yang menyangkut dirinya sendiri), serta putusan yang cenderung mengatur atau putusan yang didasarkan pada pertentangan antara satu undang-undang dengan undang-undang yang lain.
Padahal judicial review untuk uji materi yang dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi adalah bersifat vertikal yakni konstitusionalitas Undang-Undang terhadap Undang Undang Dasar, bukan masalah benturan antara satu undang-ndang dengan undang-undang yang lain.
Sebagaimana amanat Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bertugas untuk mewujudkan hukum dan keadilan dalam posisi yang sama, tanpa ada salah satu yang diutamakan. Keadilan yang ditegakkan adalah keadilan yang substansial, hakiki, dan dirasakan oleh publik sebagai keadilan sesungguhnya. Karena itulah, hakim konstitusi lebih memilih konteks hukum daripada mengedepankan teks Undang-Undang.