Pasal 22E UUD 1945 menyatakan bahwa pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pasal tersebut juga menegaskan bahwa penundaan atau pembatalan pemilu hanya dapat dilakukan dalam keadaan tertentu dan atas dasar pertimbangan yang sangat kuat. Penundaan atau pembatalan pemilu hanya dapat dilakukan dalam keadaan tertentu, seperti terjadi bencana alam, konflik sosial atau keamanan, atau kondisi luar biasa lainnya yang mengancam stabilitas negara.
Selain itu, penundaan atau pembatalan pemilu juga harus didasarkan pada pertimbangan yang sangat kuat dan melalui mekanisme yang demokratis. Meskipun ada kemungkinan penundaan atau pembatalan pemilihan umum dalam keadaan tertentu, prinsip-prinsip dasar pemilihan umum yang diatur oleh Pasal 22E UUD 1945 harus selalu dijunjung tinggi. Setiap pengambilan keputusan terkait penundaan atau pembatalan pemilihan umum harus dilakukan dengan transparan dan melibatkan semua pihak yang terkait, sehingga keputusan yang diambil dapat diterima secara luas oleh masyarakat.
Dengan demikian, penundaan pemilu yang dilakukan tanpa memenuhi syarat-syarat tersebut di atas melanggar dan bertentangan dengan konstitusi serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlu juga dicatat bahwa penundaan atau pembatalan tersebut harus dengan pertimbangan yang sangat kuat dan dilakukan dengan transparan serta berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Gugatan Parpol Bukan Kewenangan Pengadilan Negeri
Dalam konteks penyelesaian tuntutan terkait pemilu, yurisdiksi hukum yang tepat adalah Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Bawaslu merupakan badan yang bertanggung jawab dalam pengawasan dan penyelesaian sengketa pemilu di Indonesia. Bawaslu memiliki kewenangan untuk menerima, memeriksa, dan menyelesaikan sengketa pemilu baik yang diajukan oleh peserta pemilu maupun oleh masyarakat umum.