Kita sadari kenyataanya bahwa memang sistem hukum di negara kita, Indonesia, tajam ke bawah tumpul ke atas. Keadaan seperti itu lama-lama akan membawa Indonesia dalam ambang kehancuran di masa yang akan datang. Bagi para elit, sebesar apapun masalahnya sepertinya jika dibandingkan dengan permasalahan yang dilakukan rakyat biasa hukumannya tidak sebanding. Hal tersebut membuat kita biasa membuat menerka yang tidak-tidak terhadap sistem hukum yang sedang berjalan ini.
Tidak terlepas dari itu, kita semua tau bahwa putusan hakim sangat memberikan pengaruh terhadap setiap permasalahan yang sedang dihadapi oleh para terdakwa. Putusan hakim memiliki andil yang besar dan hakim pun harus memberikan putusan tersebut sesuai aturan yang telah dituliskan dalam UUD, KUHP dan tentunya KUHAP. Oleh karena itu, hakim menanggung tugas yang sangat berat karena ia menentukan nasib orang dimasa depan. Dalam menjalankan tugasnya hakim harus mengindahkan etika profesinya untuk menjaga nama baiknya di masyarakat.
Mungkin sebagian dari kalian yang membaca ini belum tau apa maksud dari judul essai saya ini. Putusan Hakim vs Hati Nurani. Apa maksudnya? Kita tau bahwa banyak yang menyebutkan hakim merupakan wakil Tuhan di dunia yang memahami tentang dunia hukum dan peradilan. Lalu, bagaimana nantinya jika ada suatu kasus yang mana hakim harus bertindak professional dan adil tetapi ia iba dengan kasus yang sedang dia proses. Di sisi inilah hakim harus berperang dengan hati nuraninya, apakah pelaku pidana tersebut harus diadili sesuai dengan peraturan yang berlaku atau dibebaskan secara gamblang karena mengikuti rasa iba yang ada di hati nuraninya. Semua putusan tersebut ada di tangan hakim.
Kita ambil contoh kasus Nenek Minah yang ada di Banyumas. Saya kira kalian sudah mengetahui kasus ini tapi tidak ada salahnya kalau saya sedikit menjelaskan lagi apa permasalahan yang sedang Nenek Minah hadapi. Pada tahun 2009 bulan Agustus, Nenek Minah yang saat itu berumur 55 tahun ia iseng memetik buah kakao yang berada di perkebunan PT Rumpun Sari Antan (RSA) di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, pada 2 Agustus lalu.
Setelah Nenek Minah memetik buah kakao tersebut, ia hanya menggeletakannya di atas tanah tanpa disembunyikan. Dan tidak lama kemudian, petugas jaga pun bertanya kepada Nenek tersebut, siapa yang memetik buah kakao ini, nenek Minah pun menjawab dengan jujur bahwa dialah yang memetiknya. Mengetahui hal tersebut nenek Minah diceramahi habis-habisan dengan pertugas jaga tersebut karena tindakannya tersebut sama saja dengan mencuri. Mengetahui hal tersebut nenek Minah pun minta maaf dan berjanji tidak mengulanginya lagi. Ia pikir dengan meminta maaf masalah akan selesai, tapi naasnya seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi.
Proses hukum tersebut terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Majelis hakim yang saat itu dipimpin oleh Muslih Bambang Luqmono memvonis Nenek Minah selama 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan. Minah dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian.
“Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
Suasana persidangan nenek Minah berlangsung penuh keharuan. Selain menghadirkan seorang nenek yang miskin sebagai terdakwa, majelis hakim juga terlihat agak ragu menjatuhkan hukum. Bahkan ketua majelis hakim terlihat menangis saat membacakan vonis. Vonis hakim 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan disambut gembira keluarga, tetangga dan para aktivis LSM yang mengikuti sidang tersebut karena wanita tua itu tidak harus merasakan dinginnya sel tahanan.
Bayangkan saja apabila nenek Minah harus mendekam di sel tahanan hanya karena ia memetik 3 buah kakao. Betapa mirisnya hukum di Indonesia, tetapi bagaiamanapun juga, kita di negara hukum harus mematuhi hukum yang berlaku. Bayangkan saja apabila hakim memberi putusan bahwa Nenek Minah harus dipenjarakan, pasti akan banyak sekali pihak yang mengecamnya. Karena Bapak Muslih Bambang Luqmono merupakan hakim yang professional dan dapat menyeimbangkan putusannya dengan mengikuti kata hati nuraninya, kasus Nenek Minah dapat terselesaikan tanpa adanya pihak yang dirugikan.
Nenek Minah diberi masa percobaan 3 bulan, yang mana apabila selama waktu 3 bulan tersebut nenek Minah melakukan tindakan pencurian lagi maka ia harus mendekam di penjara. Pihak PT Rumpun Sari Antan (RSA) juga merasakan keadilan karena setidaknya kasusnya sudah ditangani sesuai hukum yang berlaku.
Contoh kasus lainnya yaitu, seorang siswa sekolah menengah pertama, Deli Suhandi (14), sempat meringkuk di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Dia dituduh mencuri sebuah voucher perdana telepon seluler (ponsel) senilai Rp 10 ribu. Deli dikenakan Pasal 363 KUHP tentang Pencurian. Dan masih banyak lagi kasus-kasus seperti diatas yang membuat hukum di Indonesia terlihat sangat miris.
Apabila kasus seperti ini ditangani oleh hakim yang tidak bisa menyimbangkan akal dan hati nuraninya, rasa kemanusiaan hakim tersebut wajib dipertanyakan. Sebenarnya kasus ini dapat diselesaikan dengan pendekatan restorative justice yang merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri, tidak sampai ke meja hijau.
Bila seperti itu orang yang mencuri uang negara harusnya juga dapat hukuman yang setimpal, bukan hanya beberapa tahun saja, hukuman seumur hidup tampaknya menjadi pilihan yang baik agar Indonesia jauh dari kata korupsi.
Hal yang dapat kita petik dari kasus di atas bahwa kita harusnya dapat menyelesaikan masalah dengan akal sehat tetapi jangan pernah melupakan hati nurani. Apapun yang patut dikasihani menurut hatimu, kasihanilah. Dan untuk para calon hakim dimasa yang akan datang, harapan kita semua semoga banyak hakim-hakim lain yang memiliki sifat yang sesuai dengan etika profesi yang berlaku tanpa pengecualian apapun.
Baca juga:
- Krisis Kehormatan di Pengadilan Indonesia: Ketika Hakim Menjadi Sasaran Teror
- Reka Baru Pengadilan: 3 Hal Penting Untuk Proteksi Hakim
- Optimalisasi Pencegahan Merendahkan Pengadilan oleh Komisi Yudisial
- Kepercayaan Publik Terhadap Integritas Hakim dan Marwah Pengadilan
- Perlukah Rekonstruksi Sistem Rekrutmen dan Integritas Hakim?
- Tanda Tanya Batas Minimum dan Maksimum Usia Hakim MK
- Apakah Ini Sebagai Fenomena Pengabaian Kode Etik Profesi Hakim?
- DPR Loloskan 7 Calon Hakim Agung Usulan KY
- Menelaah Sudut Pandang Integritas Hakim Konstitusi dalam Batasan Umur 55 Tahun
- Shared Responsibility dalam Meningkatkan Integritas Hakim di Indonesia