Tanah adat atau tanah ulayat merupakan tanah yang dimiliki oleh suatu Masyarakat Hukum Adat (MHA) tertentu. Tanah ini merupakan kekayaan bersama MHA sekaligus sebagai sumber penghidupan. Di Nusa Tenggara Timur (NTT), tanah adat secara umum dikenal dengan istilah tanah suku, meskipun di beberapa kelompok masyarakat adat disebut dengan nama yang berbeda-beda.
Keberadaan tanah adat di berbagai daerah di Indonesia tidak terlepas dari polemik eksistensinya. Hingga kini, keberadaannya semakin dipertanyakan tentang seberapa kuat pengaruhnya hingga masih perlukah tanah adat dianggap ada.
Tak dapat disangkal bahwa perkembangan zaman telah berdampak pada melemahnya pengaruh dan daya MHA. Perkembangan ini berdampak pada perspektif masyarakat terhadap hak bersama, seperti tanah adat. Di masa depan, eksistensi MHA mungkin akan semakin tergerus oleh zaman dan akan menyatu dengan masyarakat modern.
Menurut Soekanto dalam Mujiati, secara alamiah kepemilikan bersama semakin lama semakin menyempit akibat proses individualisasi pemilikan tanah. Konsekuensinya, tuntutan mendaftarkan tanah yang dilindungi akhirnya menjadi keharusan.
Terdapat beragam kepentingan di atas tanah adat yang merupakan milik bersama MHA. Di atas kesatuan tanah ini, kebutuhan untuk memperoleh kesejahteraan bersama, melestarikan nilai-nilai luhur tradisi hingga sumber penghidupan yang adil dan merata harus berhadapan dengan tuntutan individualisasi kepemilikan pada sisi berlawanan.
Belum lagi dengan alasan kepentingan umum sehingga desakan terhadap tanah adat terus meningkat. Perbedaan kepentingan ini dapat menjadi pemicu lahirnya konflik tanah adat.
Ketidakpastian status inilah yang membuka peluang terjadinya konflik. Kepentingan yang tidak lagi selaras antara banyak pihak disambut baik oleh status tanah adat yang tidak pasti. UUPA sebagai sumber hukum tanah nasional bahkan bersikap abu-abu terhadap tanah ulayat. Melainkan, UUPA mengakui hukum adat sebagai sumber utama sekaligus pelengkap hukum tanah nasional.
Namun demikian, UUPA tidak memiliki keberanian untuk melakukan pengaturan terhadap hak ulayat. Alasannya, pengaturan terhadap hak ulayat akan menghambat perkembangan alami hak ulayat yang terus melemah.
Perspektif ini cenderung tidak adil dan kurang bijaksana mengingat dampak dari kekosongan pengaturan tersebut menimbulkan konflik yang masif. UUD 1945 mengakui dan menghormati MHA sepanjang masih ada dan tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.
Tingginya angka konflik tanah adat di NTT menjadi salah satu bukti wujud belum pastinya proses maupun pelaksanannya. Posisi tanah adat di NTT dipandang sebagai sesuatu yang tidak ada di mata hukum, namun memiliki dampak yang besar. Sayangnya, hal tersebut belum cukup menjadi alasan yang dapat mendorong pemerintah daerah NTT melakukan penelitian guna menetapkan pengakuan terhadap tanah adat dan MHA di NTT. Berdalih pada eksistensi MHA yang kian melemah, justru terpatahkan dengan angka konflik tanah adat yang terus terjadi di berbagai wilayah di NTT.
Perbedaan kepentingan tanah adat ini akan melahirkan persoalan karena terdapat kekosongan aturan yang melingkupi MHA dan tanah adatnya. Tidak adanya pengakuan pemerintah daerah terhadap individualisasi tanah adat, melainkan diharuskan melalui lembaga pemberian hak. Lembaga pemberian hak merupakan mekanisme pemberian hak atas tanah terhadap tanah yang berasal dari negara. Meskipun faktanya tanah tersebut berasal dari tanah adat, negara tidak mengakuinya sebagai tanah yang berasal dari tanah adat.
Selain ketidakjelasan dari subtansi UUPA, organ pelaksana di NTT tidak mengakui tanah adat melalui prosedur pemberian hak terhadap tanah bekas milik adat. Jika memang terbukti ada konflik dengan tanah yang masif, tetap saja kedudukan tanah adat di NTT tidak diakui keberadaannya di mata negara.