Di tengah kritik pedas Neo-Marxis terhadap liberal legalism, Philiph Nonet dan Philiph Selznick memperkenalkan suatu teori hukum bernama legal responsive theory atau teori hukum responsif. Menurut teori hukum responsif, suatu hukum dikatakan sebagai hukum yang responsif, apabila menempatkan hukum sebagai sarana respon terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik.
Di mana, hukum yang responsif harus mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik. Sifat hukum yang responsif tersebut, salah satunya dapat ditemukan di dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Gugatan Sederhana ( Perma 4/2019). Di dalam Perma 4/2019 ini terdapat berbagai pengaturan yang sifatnya responsif terhadap berbagai perkembangan di masyrakat.
Adapun, beberapa poin-poin penting di dalam Perma 4/2019 tersebut yang menunjukan bahwa aturan hukum ini responsif adalah:
Nilai Objek Gugatan
Di dalam Pasal 1 ayat (1) Perma 4/2019, dijelaskan bahwa nilai objek gugatan adalah sebesar Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Hal tersebut berarti, nilai objek gugatan dapat menggunakan mekanisme Gugatan Sederhana maksimal adalah Rp.500.000.000,00. Jika nilai objek gugatan di atas Rp.500.000.000,00, maka harus menggunakan mekanisme gugatan biasa. Jika dikomparasi dengan Perma 2/2015, nilai objek gugatannya dulu hanyalah Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).