Sebenarnya mereka imigran China ini sebelum datang ke Amerika telah “diiming-imingi” atau dijanjiakan dengan mendapatkan upah yang tinggi, sehingga dengan hal ini membuat imigran-imigran China ini semakin terus berdatangan. Tetapi, ketika mereka sudah datang di Amerika mereka tidak mendapatkan hal tersebut (upah yang tinggi) dibandingka dengan pekerja kulit putih (local Amerika) dan membuat mereka hidup dalam kondisi yang keras.
Mereka (imigran China) tidak dapat kembali ke China dan membuat mereka terpaksa untuk terus bersaing dengan ras kulit putih “forty-niners” yang berasal dari Timur Amerika untuk mata pencaharian mereka, dan para pekerja ini dijadikan kambing hitam oleh pekerja migran kulit putih karena penampilan, bahasa, dan adat istiadat mereka berbeda. Selain mereka (imigran China) dihadapi dengan pemberian upah yang rendah mereka juga dihadapi dengan pembebanan pajak yang tidak semestinya dan juga hambatan legislative atas kewarganegraan oleh pemerintah Amerika.
Karena mereka (imigran China) dengan terpaksa mau untuk dibayar rendah atas pekerjaan mereka dan mereka tetap bekerja dengan giat, maka hal tersebut membuat pekerja-pekerja local ketakutan kehilangan atas pekerjaan mereka. Dengan hal ini, maka pemerintah Amerika dengan tujuan untuk melindungi pekerja local maka pemerintah mengeluatkan kebijakan Chinese Exclusion Act pada tahun 1881, kebijakan tersebut isinya penuh dengan kebencian rasisme terhadap kelompok-kelompok imigran China.
Karena menghadapi banyak tekanan dari pemerintah Amerika dan juga pekerja local Amerika di pertambangan maka mereka memilih untuk meninggalkan pekerjaan tersebut dan lebih memilih untuk berwirausaha melalui restoran, perusahaan ritel, dan binatu (tukang cuci). Mereka (imigran China) di Amerika ini hidup secara berkelompok dengan imigran-imigran China lainnya dan membuat perkampungan mereka yang dikenal dengan istilah Chinatown. Namun, beberapa dari mereka masih tetap menghadapi tekanan kebencian dari kelompok kulit putih, kelompok kulit putih tersebut membakar rumah-rumah dari imigran-imigran China tersebut hingga rata dengan tanah.
Pada saat itu, China merupakan negara penghasil opium dari sektor pertnian mereka. Pada suatu saat pertanian mereka gagal dan membuat orang-orang China ini pindah (menjadi imigran) di Amerika untuk mencari nafkah. Karena Negaranya merupakan negara penghasil opium maka Imigran-imigran China datang ke Amerika tidak dengan tangan kosong melainkan mereka membawa opium dari negaranya dan membuat Chinatown yang berada di bagian Barat Amerika menjadi sarang opium dan membuat banyak orang-orang local Amerika menjadi kecanduan terhadap narkoba (opium), dan membuat kepanikan nasional.
Kejahatan kebencian terhadap kelompok China berlanjut hingga sekarang, dan kondisi tersebut semakin diperparah dengan menyebar luasnya COVID-19 di seluruh belahan dunia khususnya di Amerika. Di Amerika sendiri COVID-19 ini sudah menyebar di hampir seluruh wilayahnya dengan jumlah orang yang terinfeksi sangatlah banyak begitu pula dengan korban jiwanya.
Dengan adanya penyebaran COVID-19 ini kejahatan berbasis rasial terhadap kelompok China melonjak tinggi, dan keadaan ini diperparah dengan adanya pernyataan dari Presiden Amerika, Donald Trump, melalui akun Twitter pribadinya dalam tweet-nya dia menyebut Corona virus (COVID-19) dengan sebutan “Chinese virus” atau “China virus”, begitu pula pada konferensi pers White House pada 19 Maret.
Tidak hanya Presiden Amerika, Donald Trump, yang mengatakan hal tersebut, tetapi Mike Pompeo selaku menteri luar negri Amerika Serikat menyebut COVID-19 atau corona virus dengan sebutan “Wuhan virus” dan juga seorang staf dari White House menyebutnya dengan “Kung flu”. Dengan adanya beberapa pernyataan dari pihak pemerintah yang berbau rasisme tersebut membuat semakin melonjaknya angka kebencian terhadap kelompok etnis China yang berada di Amerika dan memposisikan mereka sebagai kambing hitam.
Jauh sebelum adanya virus ini, pada 2015 WHO sudah memperbaiki kebijakan mereka dalam penamaan terhadap jenis penyakit yang baru muncul. Sebelumnya penamaan terhadap penyakit baru tersebut diberi nama dengan mencantumkan domisili atau region dari tempat awal mula penyakit tersebut muncul dan sejak 2015 WHO merubah hal tersebut dengan tidak mencantumkan nama suatu daerah atau region asal mula virus tersebut muncul. Hal ini dilakukan oleh WHO untuk mengurangi kebencian terhadap suatu kelompok ras atau etnis tertentu.
Dari semua hal yang telah dipaparkan di atas, hal tersebut merupakan salah satu contoh dari sekian banyak pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang ada dan juga membuktikan bahwa pelanggaran terhadap hak asasi manusia sudah ada sejak zaman dahulu dan berlanjut hingga sekarang. Penegakkan terhadap hak asasi manusia ini harus didukung oleh seluruh elemen masyarakat dan juga pemerintahan agar terciptanya hak asasi manusia yang sebagaimana mestinya. Seharusnya hak asasi manusia tidak berdasar pada hukum positif yang berlaku di suatu negara, tetapi berakar pada natural law.