Dapat dikatakan bahwa permintaan maaf tersebut tidak serta merta menghentikan proses hukum dengan begitu mudah. Hal tersebut memang sudah menjadi ketentuan yang tertuang dalam sistem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia, dimana perdamaian tidak dapat menghentikan perkara pidana melainkan hanya sebagai alat pertimbangan hakim dalam peringanan putusan, kecuali dalam perkara delik aduan.
Kesimpulan
Berada pada akhir pernyataan, apabila hukum mengatasnamakan keadilan maka sudah seharusnya kasus ini tetap berlanjut ke tahap penyelidikan. Hal ini bertujuan demi melindungi hak-hak dari korban yang memang lemah di akal maupun fisiknya seperti yang terjadi pada Egiansah sebagai penyandang disabilitas dan Ibunya yang buta huruf. Keadilan yang dimaksudkan disini tidak hanya dinilai dari materilnya seperti adanya kompensasi surat bermaterai 10 ribu yang disertai dana kompensasi sejumlah 2 juta saja.
Perisakan yang disertai penganiayaan ini menjadi sudah termasuk ke dalam salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Sebenarnya masih banyak versi Egiansah lainnya yang turut mengalami peristiwa serupa namun tidak terkuak di media. Terlebih dengan kondisi yang dialami oleh Egiansah yang karena keterbatasannya menjadi tidak berdaya dalam melakukan pembelaan terhadap hak-hak yang dilanggar oleh orang lain.
Sudah sepatutnya pemerintah dalam hal ini pengemban tanggung jawab dalam hal perlindungan hak asasi manusia terus berupaya untuk tetap menjunjung tinggi amanat asas Equality Before the Law dan dan UUD 1945 pasal 27 ayat 1 yang sama-sama membahas mengenai semua warga negara memiliki kedudukan dan perolehan hak yang sama di depan hukum dan pemerintahan.