Bali, sebuah pulau yang mendapat julukan sebagai pulaunya para dewa, menyimpan begitu banyak ragam adat budaya yang masih lestari hingga saat ini. Namun dibalik keindahannya, Bali menyimpan ketidak-adilan gender yang disebabkan oleh Hukum Adat yang masih mengikuti tradisi mula keto (tradisional). Meskipun tidak sepenuhnya hukum adat Bali bersifat statis, namun tingkat perubahan adat yang terjadi sangat sedikit, sehingga nyaris tidak dapat dirasakan (van Dijk, 1979).
Holleman dan Koentjaraningrat dalam Sudarta, menyatakan bahwa kebudayaan Bali identik dengan sistem kekerabatan patrilineal (Sudantra, 2006). Budaya patriarkhi menjadi doktrin yang terkonstruksi seakan-akan tampak sebagai hukum alam, apalagi dogma-dogma ini diperkuat oleh doktrin-doktrin agama yang mau tidak mau hingga kini masih terpatri oleh pemikiran-pemikiran yang lebih mendewakan laki-laki daripada perempuan, padahal sama-sama manusia ciptaan Tuhan.
HAM dan Adat Perkawinan Bali
Dalam konsep HAM, semua orang memiliki hak dasar dan mutlak karena ia adalah manusia. Dengan tujuannya adalah menjamin martabat setiap orang dan melindungi martabat manusia berdasarkan hukum, bukan atas dasar kehendak, keadaan, ataupun kecenderungan politik tertentu. Hak-hak dan kebebasan tersebut memiliki ciri-ciri yakni: tidak dapat dicabut atau dibatalkan, universal, saling terkait satu sama lain dan tidak dapat dipisah-pisahkan.
[rml_read_more]
Salah satunya adalah membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 28B ayat (1) UUDNRI 1945, pasal 16 ayat (1) DUHAM, pasal 10 ayat (1) UU HAM, pasal 23 ayat (1) ICCPR, dan pasal 10 ayat (1) ICESCR. Selain itu, hak dan kewajiban suami dan isteri juga telah diatur dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974.
Perkawinan di Bali sangat kental akan budaya, adat dan keagamaannya. Oleh sebab itu, tidak terlepas dari permasalahan wangsa (kasta) dan juga warna (profesi). Hal tersebut yang menyebabkan terjadinya degradasi hak memilih pasangan oleh perempuan Bali. Karena sendari kecil banyak perempuan Bali yang dibentuk dan dipersiapkan untuk menjadi milik keluarga lain, dengan kata lain perempuan Bali sudah dijodohkan sejak kecil.
Selain itu terdapat budaya “Sing Beling Sing Nganten” atau “Tidak Hamil-Tidak Menikah”, dengan kata lain perempuan harus hamil dulu, untuk dapat menikah dengan pihak laki-laki (Sudantra, 2007). Jika dilihat dalam konsep gender hal tersebut sangat merugikan kaum perempuan, karena setelah adanya anak maka perkawinan hanya akan menjadi sebuah formalitas tanpa perasaan cinta dan saling mengayomi.
Berkaitan dengan wangsa, secara agama tidak dijelaskan akibat dari perkawinan beda kasta. Tetapi, secara sosio-religius konseksuensinya adalah perempuan harus mengikuti silsilah keluarga suami, karena perempuan sudah masuk ke dalam silsilah keluarga sang suami. Kasta tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya sejajar yaitu tidak ada kasta yang memiliki kedudukan yang sama di masyarakat (Mahardini, 2013).
Perkawinan beda kasta dibagi menjadi dua yakni ketika kasta laki-laki lebih tinggi dari kasta perempuan dan ketika kasta perempuan lebih tinggi dari laki-laki (Wiana, 1993). Perkawinan dengan kasta laki-laki lebih rendah sangat dihindari di Bali, karena pihak perempuan tidak akan rela apabila perempuan yang menikah tersebut mengalami turun kasta.
Perkawinan beda kasta dimana kasta istri lebih rendah dari suami adalah perkawinan biasa di Bali. Perkawinan semacam ini biasanya memberikan kebanggan tersendiri bagi keluarga perempuan, karena putri mereka berhasil mendapatkan pria dari kasta yang lebih tinggi, dan secara otomatis kasta istri juga akan naik mengikuti kasta suami. Menjadi persoalan, apabila perempuan tersebut dari golongan sudra dan melakukan perkawinan dengan laki-laki golongan Triwangsa, kastanya tidak akan berubah mengikuti kasta suami.