Dalam perjalanannya mengungkap pelaku, kasus ini diiringi banyak kontroversi. Dengan yakin kepolisian mengatakan bahwa kasus yang dialami Novel Baswedan dilakukan dua orang tidak bertanggungjawab (OTB) yang sakit hati atau dendam karena masalah pribadi. Di sisi lain masyarakat percaya bahwa sikap tegas Novel Baswedan dalam menangani korupsi adalah alasan ia mengalami pelanggaran ham tersebut (Tosepu, 2018). Kasus ini semula bagai hilang ditelan angin tanpa kejelasan kapan berakhirnya.
Untuk kasus Novel Baswedan tampaknya itu waktu yang lama. Lamanya penanganan kasus tersebut menyebabkan banyak opini muncul dan ujungnya masyarakat ragu pelaku penyerangan terhadap Novel akan terungkap. Muncul juga kabar bahwa Novel menyebutkan keterlibatan jenderal dalam kasus penyerangan terhadapnya.
Tokoh-tokoh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sampai mantan pimpinan KPK meminta KPK sendiri turun tangan menangani kasus Novel Baswedan dengan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Mantan Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas mengatakan, lambannya penanganan kasus Novel Baswedan bisa menjadi preseden buruk bagi KPK. KPK termasuk para pimpinan dan pegawainya berpotensi menerima banyak serangan oleh pihak eksternal, mengingat penyerangan terhadap Novel bukan sekadar urusan pribadi tapi penyerangan terhadap pihak-pihak yang membenci korupsi (Hariansyah, 2018).
27 desember 2019, lebih dari 2 tahun setelah penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, publik dihebohkan dengan tertangkapnya terduga pelaku berinisial RM dan RB yang merupakan polisi aktif. RM diduga adalah yang menyiram air keras pada Novel, sedangkan RB yang mengantar RM ke rumah Novel. Terkait motif, RM mengaku dendam pada Novel. (Kasman, 2020).
Kontroversi kasus ini belum selesai, kasus ini dirasa janggal karena tuntutan hukuman kurungan 1 tahun penjara untuk terdakwa RM dan RB serta proses persidangan aneh seolah penuntut umum menjadi penasehat hukum. Kasus ini ialah penganiayaan berencana berupa penyiraman air keras ke wajah sehingga Pasal 353 ayat 3 (penganiayaan berat) sama dengan Pasal 354 (penganiayaan berencana) dan memperberat pidana dalam penganiayaan berat.
Ancaman pidana dari Pasal 355 ayat 1 KUHP sendiri ialah pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pasal 355 ayat 1, berbunyi: Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Sedangkan pidana bagi Pasal 353 ayat 2 adalah pidana penjara tujuh tahun. Namun dalam kasus ini Jaksa hanya menuntut 1 tahun. Ketika vonis dibacakan, RM dihukum 2 tahun penjara, dan RB dihukum 1,5 tahun penjara (Sinaga, 2020).