Perseroan Terbatas (PT) pada dasarnya merupakan merupakan badan hukum, yaitu suatu badan yang dapat memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan layaknya manusia, memiliki kekayaan, serta dapat digugat dan menggugat di muka pengadilan. Segi permodalan PT berbeda dengan badan usaha tidak berbadan hukum maupun badan usaha berbadan hukum lainnya, karena struktur modal PT terbagi atas saham-saham.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“Undang-Undang Perseroan Terbatas”) menjelaskan bahwa PT adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal atau dengan arti lain terdiri atas himpunan modal yang ditempatkan oleh orang-orang yang memiliki kepentingan sama atau disebut pemegang saham.
Kedudukan modal pada PT adalah penting dikarenakan kekayaan suatu PT sebagian besar diwakili oleh para pemegang saham. Adapun macam-macam modal dalam PT yang terdiri dari modal dasar, modal yang ditempatkan, dan modal yang disetor. Masing-masing modal yang telah disebutkan memiliki fungsi dan tujuannya masing-masing seperti halnya besaran modal dasar PT ditujukan untuk menentukan jumlah maksimum modal dan saham yang dapat diterbitkan. Modal yang ditempatkan memiliki fungsi menentukan modal yang disanggupi para pendiri PT untuk disetorkan ke dalam kas pada saat PT didirikan.
Adapun modal yang paling penting yaitu modal yang disetor adalah modal yang secara nyata diserahkan oleh para pendiri kepada kas PT sesuai dengan nominal modal ditempatkan yang mana memiliki fungsi menggambarkan kekuatan finansial PT secara riil pada saat PT didirikan. Modal yang ditempatkan inilah yang nantinya akan menentukan struktur permodalan yang terdiri atas komposisi kepemilikan modal dan presentase pembagian saham.
Membahas lebih lanjut tentang modal yang disetorkan pada PT akan menjadi kompleks apabila menyinggung mengenai bentuk penyetoran modal atas saham PT. Berkenaan dengan bentuk penyetoran modal PT dilakukan tidak hanya terbatas dalam bentuk uang, melainkan juga dapat dilakukan dalam bentuk selain uang. Khusus terhadap penyetoran modal PT dengan bentuk selain uang atau bentuk lain dapat berupa benda berwujud maupun benda tidak berwujud dengan syarat memiliki valuasi yang dapat diperhitungkan dengan uang.
Adanya ketentuan penyertaan modal dalam bentuk lain mendorong adanya berbagai inovasi terhadap jenis benda berwujud maupun benda tidak berwujud yang dijadikan objek penyetoran modal. Seperti contoh penyetoran modal atas saham PT menggunakan objek keahlian yang pada praktiknya diklasifikasikan sebagai benda tidak berwujud di mana penghitungan valuasinya didasarkan pada kesepakatan antara pemegang saham ataupun dengan cara memberikan penggantian modal terhadap pemilik keahlian.
Pada dasarnya objek penyetoran modal PT dalam bentuk lain yang mudah untuk ditentukan nilai wajarnya ialah benda berwujud baik bergerak maupun tidak bergerak. Salah satu contohnya adalah terdapat metode-metode dalam melakukan penilaian aset berwujud perusahaan berupa tanah dan/atau bangunan meliputi Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach), Pendekatan Pendapatan (Income Approach), dan Pendekatan Biaya (Cost Approach).
Terhadap penilaian benda tidak berwujud terdapat beberapa hambatan dalam pelaksanannya seperti teknis penilaian, pihak penilai, ataupun metode penilaian yang digunakan. Hambatan-hambatan tersebut ada dikarenakan dalam hukum Indonesia sampai saat ini belum terdapat pengaturan yang jelas dan spesifik mengenai penilaian benda atau aset tidak berwujud.
Salah satu benda tidak berwujud yang dapat dijadikan objek penyetoran modal PT namun tidak memikiki pengaturan yang jelas berkenaan dengan perhitungan nilainya yaitu hak merek. Padahal keberadaan merek sangat melekat dengan aktivitas kegiatan PT serta dapat memengaruhi tingkat pembelian konsumen terhadap produk barang dan/atau jasa yang dihasilkan PT.
Pasalnya merek menjadi salah satu faktor utama suatu usaha termasuk PT dalam meningkatkan branding terhadap produk yang dimiliki sehingga brand image masyarakat juga akan ikut meningkat. Sebagaimana dinyatakan oleh Kotler yang mendefinisikan brand image adalah persepsi dan keyakinan konsumen seperti dalam asosiasi yang terjadi dalam memori konsumen terhadap merek tertentu. Terlebih jika nilai dari suatu usaha termasuk PT meningkat dikarenakan branding dan lain hal sebagainya, itu pun kan mempengaruhi nilai dari merek yang melekat dari usaha tersebut.
Merek merupakan salah satu kekayaan intelektual berupa benda tidak berwujud yang dapat dijadikan aset PT. Bentuk dari merek secara hukum berupa hak sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“Undang-Undang Merek”) bahwa pada intinya yang dimaksud hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik merek terdaftar untuk jangka waktu tertentu.
Meskipun merek memiliki nilai yang dapat dihitung dengan uang, namun dari segi karakteristik merek merupakan benda tidak terwujud yang mana memiliki implikasi terhadap teknis penilaiannya. Berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 19 (PSAK 19) Revisi 2010 menjelaskan bahwa aset tidak berwujud ialah aset moneter tanpa wujud fisik yang dapat diidentifikasi, di mana dapat dinilai berdasarkan hak atau keistimewaan yang diperoleh selama memiliki aset tersebut.
Mekanisme pelaksanaan penilaian atas merek memang belum diatur jelas dalam peraturan perundang-undangan baik mengenai teknis penilaian maupun pihak penilai. Teknis penilaian terhadap merek tertentu pada praktiknya dilaksanakan melalui perhitungan nilai ekonomis dengan mengidentifikasi citra dari merek tersebut yang didasarkan pada manfaat serta kepuasan bagi konsumen terhadap produk dan/atau jasa yang ditawarkan.
Secara teoritis nilai ekonomis merek tertentu dapat diidentifikasi menggunakan Teori Nilai Pelanggan, yakni teori yang menyatakan bahwa nilai pelanggan dihitung berdasarkan perbandingan antara manfaat yang diterima dengan usaha yang dilakukan untuk mendapatkan manfaat tersebut. Secara praktik, penilaian merek dilakukan dengan menggunakan tiga metode pendekatan meliputi Pendekatan Pasar, Pendekatan Biaya, dan Pendekatan Pendapatan.
Selain itu, berkaitan dengan pihak penilai khusus yang memiliki tugas melakukan penilaian terhadap merek atau kekayaan intelektual lainnya, Indonesia belum memiliki lembaga khusus atau profesi khusus untuk melakukan penilaian tersebut. Sampai saat ini, pelaksanaan penilaian merek dilakukan oleh Penilai Publik atau biasa disebut juga Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP), suatu lembaga di bawah Kementerian Keuangan yang memiliki fungsi melakukan penilaian untuk berbagai tujuan. Adanya KJPP sampai saat ini belum memberikan penilaian yang objektif dalam artian secara commercial sense penilaian yang dilakukan KJPP belum optimal menurut subjektivitas pelaku bisnis khususnya.
Kaitannya dengan kedudukan merek untuk dijadikan objek penyetoran modal PT memiliki syarat utama dalam hal pelaksanaan penilaian sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 34 Undang-Undang Perseroan Terbatas bahwa dalam menentukan nilai wajar objek penyetoran modal PT dengan bentuk selain uang maka harus dilakukan oleh ahli yang tidak terafiliasi dengan PT.
Akan tetapi, di sisi lain secara logis terhadap merek yang hendak dijadikan objek penyetoran modal PT tidak boleh terdaftar atas nama PT yang bersangkutan dalam artian pemilik merek terdaftar pada saat menyetorkan modalnya diikuti juga dengan pengalihan hak kepemilikan atas merek untuk dikonversikan menjadi kepemilikan modal atau saham PT.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya objek penyetoran modal Perseroan Terbatas dapat dilaksanakan dengan syarat sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perseroan terbatas khusunya dalam Pasal 34 Undang-Undang Perseroan Terbatas. Namun di samping itu perlu dipahami berkaitan dengan penentuan valuasi atas merek yang ingin disertakan sebagai modal PT, karena secara normatif belum terdapat aturan yang menjelaskan secara detail mengenai mekanisme penilaian valuasi merek atau pun kekayaan intelektual lainnya. Maka dari itu penulis menilai perlu untuk dibentuknya aturan khusus mengenai mekanisme penilaian merek atau kekayaan intelektual lainnya, karena mengingat faktor nilai kekayaan intelektual yang fluktuatif serta berkaitan dengan banyak aspek bisnis.