Hukum progresif merupakan bagian dari proses pencarian kebenaran yang mana tidak akan pernah berhenti sehingga hukum dari waktu ke waktu akan selalu mengikuti perkembangan zaman. Hukum akan selalu menyesuaikan diri terhadap hal-hal yang timbul di kemudian hari. Satjipto Rahardjo, sebagai penggagas hukum progresif mengatakan bahwa adanya terobosan di bidang ilmu hukum sangat penting dalam penegakkan hukum. Kendati hukum dan keadilan sering dikatakan sebagai dua sisi dari satu mata uang yang berbeda. Perlu diingat bahwa hukum itu berbeda dengan keadilan dan menegakkan hukum tidak sekaligus menghadirkan keadilan terutama yang disebut dengan keadilan komprehensif.
Dalam sebuah literatur yang berjudul Comparative Law in a Global Context: The Legal Systems of Asia and Africa dijumpai mengenai jenis keadilan yang disebut sebagai perfect justice atau juga biasa disebut dengan pencarian keadilan substantif yang sempurna. Istilah tersebut dikemukakan oleh Werner Menski. Menurut Menski, profesor hukum Universitas London, mpencarian terhadap keadilan melalui hukum harus dilakukan dengan 3 pendekatan, yakni pendekatan filosofis, normatif-positivis, dan socio-legal dan kemudian, disertakan dengan pendekatan keempat yang disebut dengan pendekatan pluralisme hukum.
Pluralisme hukum adalah pemberlakuan suatu aturan hukum yang lebih dari satu sistem dalam kehidupan sosial. Di Indonesia sendiri pluralisme hukum secara nyata hadir dalam produk hukum yang dihasilkan oleh para wakil rakyat. Melalui pendekatan pluralisme hukum seorang pengambil keputusan di bidang hukum harus senantiasa memerhatikan kompleksitas perkara yang dihadapi. Kompleksitas itu berupa peraturan negara (undang-undang), hukum yang hidup di masyarakat (adat istiadat, nilai kesopanan) dan hukum yang timbul dari kepercayaan yang dianut masyarakat (hukum agama). Pengambil keputusan hukum yang mampu dan berani mengambil keputusan menggunakan pendekatan pluralisme hukum dalam rangka mewujudkan hukum tidak mungkin dihasilkan melalui Pendidikan Tinggi Hukum yang biasa melainkan dihasilkan dari Pendidikan Tinggi Hukum yang progresif.
Sekitar 300 tahun sebelum Masehi, Ulpianus seorang ahli hukum Romawi telah menancapkan tiga prinsip utama hukum alam yaitu hiduplah dengan jujur, jangan merugikan orang lain di sekelilingmu, berikan apa yang memang telah menjadi haknya. Tiga prinsip dasar tersebut sebenarnya merupakan dasar sekalian moralitas manusia. Oleh karena itu, apabila ketiganya diposisikan sebagai perintah, perintah itu bersifat perintah yang tidak bisa ditawar oleh manusia. Dengan adanya perintah itulah, penegak hukum dapat dipandang menjadi lebih humanis dan memanusiakan manusia.
Kemudian, penulis akan membahas mengenai penegak hukum lingkup pertama yaitu polisi. Sesuai dengan aturan yang tercantum dalam KUHAP dan UU Kepolisian, tugas dari polisi dalam dunia hukum sebagai penyelidik dan penyidik. Di kantor polisi lah di mulainya suatu penyelidikan dan penyidikan yang nantinya bila terbukti seseorang melanggar hukum, maka kasusnya akan digulirkan ke penegak hukum selanjutnya yaitu kejaksaan. Menjadi seorang penegak hukum terutama polisi bukanlah suatu hal yang mudah.
Pertama, kehidupan polisi adalah gambaran kehidupan yang kompleks dan rumit sehingga ilmu yang dimilikinya pun tidak bisa hanya bersifat monodisiplin namun harus multidisiplin bahkan interdisipliner. Kedua, tidak cukup hanya ilmu hukum dan ilmu sosial, melainkan harus pula menguasai ilmu forensik, psikologi, politik, budaya, kemiliteran, dan sebagainya. Ketiga, ditangan polisi hukum itu dapat terlihat baik atau buruk karena polisi merupakan penegak hukum tahap pertama. Di tahap ini pula apabila polisi dituntut untuk bersikap jujur, tidak merugikan orang lain, serta dapat bertindak adil. Untuk menjadi polisi yang baik dibutuhkan reformasi di berbagai bidang, bahkan reformasi itu tidak dapat dilakukan secara gradual dan particular melainkan harus dilakukan secara berkelanjutan dan sistematis.
Mereformasi birokrasi kepolisian harus diikuti dengan mereformasi perilaku anggotanya akan percuma apabila hanya mereformasi dari satu sisi. Kedua bidang reformasi tersebut sebenarnya beririsan pada satu titik yaitu reformasi budaya polisi. Disisi lain, polisi sebagai garda pertama di bidang hukum juga harus bisa menjadi polisi yang responsif. Dalam artian polisi tidak hanya menunggu laporan masyrakat, apalagi setelah ada laporan masyarakat tidak segera ditindaklanjuti karena pengutamaan perintah atasan dan prosedur yang sangat birokratis. Bila polisi dalam menjalankan hukum masih terkungkung dengan prosedur yang rumit dan perintah serta petunjuk atasan, maka akan sangat sulit untuk mewujudkan polisi yang responsif.
Selanjutnya membahas mengenai hakim yang juga harus memiliki watak progresif. Dalam praktek penegakan hukum di pengadilan Indonesia yang menjalankan fungsi integrasi adalah seorang hakim, seeing hakim memikul tanggungjawab untuk menghadirkan keadilan dan kebenaran dalam rangka menciptakan integrasi social.
Dalam dunia hukum, hakim dipercaya sebagai sosok yang mampu untuk menintegrasikan berbagai macam kepentingan karena hakim memegang peranan sebagai posisi sentral yang mana dapat mengabaikan hukum tertulis apabila memang dalam praktiknya hukum tersebut tidak memenuhi rasa keadilan sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat pencari keadilan.
Pada sistem hukum Common Law, hakim dapat menciptakan hukum-hukum baru sehingga hakim sangat independen, tidak terbelenggu dengan peraturan perundang-undangan belaka, dan bebas untuk memperhatikan atau tidak terhadap faktor-faktor yang mengarah kepadanya. Menjadi hakim tidak boleh hanya sekedar menjadi corong undang-undang melainkan harus bisa memiliki kriteria seperti di atas sehingga dapat terwujud hakim yang progresif.
Dalam penanganan kasus-kasus hukum di Indonesia, tampaknya tidak bisa bila hanya menggunakan hukum negara sebagai acuannya. Tentu dibutuhkan sisi-sisi hukum lain karena memang hukum itu bersifat multifaset, interdispliner, dan komperhensif. Bila undang-undang tidak cukup untuk mendorong hakim agar bertindak menjadi progresif, maka perlu adanya aspek moral, etika, dan keagamaan untuk mendorong hakim agar bertindak dan berpikir secara progresif dalam memeriksa hingga memutuskan suatu perkara.
Mengingat pentingnya aparat penegak hukum agar dapat bersifat progresif, maka dari itu aparat penegak hukum yang memiliki sifat progresif hanya dapat dihasilkan dari kampus hukum yang berbasis progresif pula yang tanggap terhadap ketidakcukupan hukum yang hanya dipandang sebagai peraturan perundang-undangan. Memang dibutuhkan kerja keras untuk mengikutsertakan faset-faset hukum selain faset hukum perundang-undangn mengingat hukum itu multifaset, interdisipliner, dan komperhensif. Untuk itu sudah seharusnya mulai dirintis perubahan kurikulum menuju pendidikan hukum yang progresif.
Jadi kesimpulannya, untuk dapat menghasilkan aparat penegak hukum yang progresif sangat dianjurkan untuk juga mereformasi perguruan tinggi hukum yang semula normatif menjadi progresif. Memang hal tersebut merupakan tugas bersama karena selama ini perguruan tinggi hukum cenderung mengajarkan ilmu hukum hanya dalam satu sisi yaitu sisi Undang-Undang yang sebenarnya sangat normatif dan jauh dari aspek moral, etika dan keagamaan.