Sangat sering kita melihat berita di TV, koran, maupun di sosial media mengenai penggerebekan pasangan di dalam hotel atau wisma. Entah kebetulan atau tidak, di timeline twitter saya beredar pula video penggrebekan pasangan dan cukup ramai diperbincangkan oleh warganet. Dalam cuplikan beberapa video yang beredar adegannya selalu klise, penegak hukum ramai ramai mendatangi hotel maupun tempat tempat yang disinyalir terjadinya hubungan ‘zina’. Ramainya penegak hukum yang menggerebek seakan akan sedang menangkap buronan koruptor yang kabur, adegan selanjutnya sudah pasti bisa kalian tebak yakni penegak hukum akan bertanya ” Lagi ngapain?” “Ngapain berduaan” Saya yang beberapa kalau melihat berita maupun video ingin rasanya menjawab “lagi main ludo,pak” Tapi tidak mungkin ada yang jawab begitu juga sih.
Dalam hal ini pertanyaan maupun sikap para penegak hukum terkesan menghakimi dan mengesampingkan asas praduga tak bersalah, padahal hal ini berhubungan erat dengan nama baik orang yang di grebek. Beberapa teman saya pun bertanya, apa yang salah dari hal tersebut, selagi kita melakukan di tempat privat, kedua belah pihak menyetujui, dan sudah berusia dewasa. Apakah penegak hukum kita berhak melakukan hal tersebut? Apakah penggrebekan pasangan di luar nikah yang dilakukan oleh penegak hukum ini sudah tepat? Dan apa dasar hukum nya?
Sebelum melangkah lebih jauh, mengenai tepat atau tidaknya. Alangkah baiknya mengetahui apa yang disebut zina berdasarkan Undang-undang yang berlaku di Indonesia. Secara singkat dalam KUHP pasal 284 menyebutkan bahwa yang dinamakan zina adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan yang salah satu atau keduanya sedang dalam ikatan perkawinan. Dalam hal ini pasal 284 merupakan delik aduan, yang mana bisa aktif apabila pihak yang merasa dirugikan seperti istri atau suami membuat laporan kepada penegak hukum. Ada beberapa hal yang bisa kita garis bawahi dari pasal 284 tersebut yakni, dalam ikatan perkawinan dan harus dilaporkan terlebih dahulu oleh pihak yang dirugikan. Sebenarnya mengenai hal ini, dalam rancangan RKUHP yang kontroversial itu sehingga rancangannya saja menimbulkan penolakan oleh berbagai pihak, sempat disinggung mengenai makna perluasan zina yakni dalam RKUHP Pasal 417 dan 418 yang isinya adalah “setiap orang yang melakukan yang melakukan persetubuhan dengan orang lain selain istri atau suaminya dikenakan pasal perzinaan dan hukuman 1 tahun penjara”. Namun bukan serta merta RKUHP ini dijadikan landasan bagi penegak hukum ditingkat daerah untuk melakukan penggrebekan terhadap pasangan diluar nikah. karena Indonesia adalah negara hukum sebagaimana tertera dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 dan menganut asas legalitas sesuai dengan pasal 1 ayat 1 KUHP dimana disebutkan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Karena RKUHP hanya sebatas rancangan dan bukan sebagai undang undang yang berlaku, maka tidak bisa dijadikan landasan.
Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan, atas dasar apakah para penegak hukum melakukan penggerebekan terhadap pasangan di luar nikah? Sebelum membahas lebih jauh mungkin kita harus tau salah satu kewenangan polisi. Sebenarnya penegak hukum khususnya polisi memang mempunyai kewenangan dalam melakukan penggeledahan sebagaiman tertera dalam pasal 7 ayat 1 KUHAP, itupun bila ada indikasi tindak pidananya semisal melakukan hubungan seks dengan anak dibawah umur bisa dikenakan pencabulan, ataupun tempat yang kita pakai terindikasi adanya prostitusi, maka polisi berhak melakukan penggeledahan, oleh karena itu mungkin saja saat terjadinya penggrebekan oleh aparat penegak hukum, ada laporan dari warga sekitar tentang dugaan terjadinya tindak pidana, sehingga terjadilah penggrebekan tersebut.
Beberapa pihak juga kerap menggunakan peraturan daerah yang khususnya mengatur mengenai ketentraman maupun ketertiban umum untuk dijadikan landasan hukum, namun yang perlu digaris bawahi adalah, peraturan perundang-undangan memiliki hierarki ataupun tingkatannya sebagaimana disebutkan dalam pasal 7 ayat 1 UU no 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Sebuah peraturan tidak boleh bertabrakan atau bertentangan dengan aturan yang ada di atasnya. Sebuah perda tentu berada dibawah Undang-undang secara hierarki, maka kurang tepat rasanya apabila dijadikan sebuah dasar hukum penggrebekan yang mana dalam KUHP saja makna zina tidak dibuat seluas itu.
Kembali pada pokok permasalahan di atas mengenai kewenangan penegak hukum menggrebek pasangan diluar nikah, selagi bukan terindikasi adanya tindak pidana dan seperti yang disebutkan di awal yakni, paham konsekuensinya, konsensual maka sebenarnya yang dilakukan oleh penegak hukum selama ini sejatinya sudah ada diluar kewenangan nya dan tidak mempunyai dasar hukum yang jelas.