MK merupakan lembaga yang memiliki fungsi perundang-undangan (negative legislator), dan sifat putusan MK adalah final dan mengikat. Sifat ini berlaku terhadap semua pihak baik warga negara ataupun lembaga-lembaga negara, termasuk MA dan badan peradilan di bawahnya. Oleh karenanya, semua organ penegak hukum, terutama pengadilan terikat untuk tidak lagi menerapkan hukum yang telah dibatalkan. Putusan MK mesti dijadikan acuan atau rujukan dalam memperlakukan hak dan kewenangannya. Hans Kelsen juga mengemukakan MA juga merupakan institusi atau organ negara yang terikat pada hasil pengujian undang-undang terhadap UUD oleh MK.
Walapun Putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986 mempertimbangkan dengan objek Konstitusi pada UUP, ranah tersebut saat ini sudah menjadi kewenangan MK. Apabila terdapat pertentangan antara putusan MA dan putusan MK, yang harus diikuti dan ditaati sebagai sumber hukum adalah putusan MK, karena posisi putusan MK lebih tinggi dari putusan MA. Sesuai juga dengan asas lex posterior derogat legi priori karena putusan pengadilan juga merupakan sumber hukum yang mengikat.
Sejalan dengan itu, Saldi Isra berpendapat terkait perbedaan penafsiran antara dua lembaga ini. Apabila perbedaan penafsiran terhadap undang-undang tersebut benar-benar terjadi, yang semestinya diikuti adalah penafsiran yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, MA tunduk pada penafsiran yang dilakukan Mahkamah Konstitusi terhadap UUD 1945 dalam menilai dan menafsirkan sebuah atau bagian undang-undang tertentu.
Jika hal yang telah penulis paparkan dijalani secara konsisten oleh pengadilan di bawah MA, mungkin hingga saat ini masih ada perdebatan apakah perkawinan beda agama boleh dilaksanakan. Kedua-dua hal tersebut dalam pelaksanaan masih dapat mungkin terjadi masih memiliki sumber hukum dan masih dapat dilaksanakan.