UUP telah mengatur larangan perkawinan beda agama dengan tegas. Putusan MK juga semakin mengunci kemungkinan perkawinan beda agama. Namun, dalam pelaksanaanya tetap ada perkawinan beda agama yang dapat dilaksanakan. Bahkan, perkawinan terseebeut diizinkan oleh pengadilan melalui penetapan pengadilan. Konsekuensinya, terdapat kerancuan hukum karena ada perangkat hukum yang melarang yang larangan tersebut tetap dilakukan dan disahkan melalui penetapan pengadilan.
Praktik ini dilakukan karena Pasal 35 huruf a UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 24 Tahun 2013. UU ini menyiratkan, “Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan”. Penjelasan Pasal 35 huruf a menentukan bahwa maksud Pasal 35 huruf a adalah perkawinan antarumat penganut beda agama. Dalam pelaksanaannya, penetapan pengadilan tersebut juga mengizinkan dilaksanakannya perkawinan beda agama. Jadi, perkawinan beda agama dapat dilaksanakan apabila sudah ada sumber hukum, yaitu penetapan pengadilan yang mengizinkan untuk dilaksanakanya perkawinan beda agama.
Ada beberapa penetapan pengadilan yang dapat dijadikan bahan rujukan. Misalnya, Penetapan Pengadilan No. 186/Pdt.P/2018/Pn.Skt., Penetapan No. 220/Pdt.P/2020/PN Bpp., Penetapan No. 959/Pdt.P/2020/PN.Bdg., Penetapan No.12/Pdt.P/2022/PN.Ptk, Penetapan No. 916/Pdt.P/2022/PN.Sby., dan Penetapan No. 512/Pdt.P/2022PNJkt.Tim. Penetapan-penetapan tersebut dibuat dengan dasar hukum Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 1400 K/Pdt/1986 yang di dalamnya mengindahkan kemungkinan dilaksanakan perkawinan beda agama.
Pertanyaannya adalah, apakah Putusan MA masih dapat menjadi sumber hukum sebagai pembuatan penetapan pengadilan? Meskipun Putusan MK sudah mengunci tidak dilaksanakanya perkawinan beda agama, yang jelas penetapan-penetapan yang mengizinkan perkawinan beda agama hanya bersumber pada Putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986. Praktik ini jelas bertentangan dengan UUP yang melarang perkawinan beda agama, sebagaimana diperkuat dengan Putusan MK No. 68/PUU-XII/2014. Keadaan ini ini tentu menimbulkan ketidakpastian hukum karena muncul pertanyaan sumber hukum mana yang seharusnya digunakan untuk membuat penetapan pengadilan terkait perizinan pelaksanaan perkawinan beda agama ini.