Hukum perikatan mengatur hak dan kewajiban baik dari debitur maupun kreditur yang kemudian disebut dengan prestasi. Jenis-jenis dari prestasi meliputi tindakan untuk memberikan atau melakukan pekerjaan tertentu dan tindakan untuk tidak melakukan suatu pekerjaan tertentu.
Menurut R. Setiawan, dalam perikatan terdapat suatu hubungan hukum yang disebut ikatan. Ikatan tersebut terjadi antara pihak dalam perjanjian yang menimbulkan akibat hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiban.
Selain bersumber dari perjanjian, perikatan juga dapat timbul dari undang-undang. Macam-macam perikatan tersebut adalah Pasal 1354 KUHPerdata yang mengatur tentang wakil tanpa kuasa. Pasal 1359 KUHPerdata yang mengatur tentang pembayaran tidak terutang. Pasal 1791 KUHPerdata mengatur perikatan wajar di mana pihak yang telah membayar sukarela tidak dapat menarik kembali uangnya.
Pendapat tersebut sejalan dengan isi Buku III Burgerlijk Wetboek bahwa perikatan-perikatan adalah timbul dari persetujuan atau undang-undang. Pada Pasal 1233 KUHPerdata dijelaskan mengenai sumber dari perikatan yang berbunyi:
“Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan maupun karena undang-undang.”
Para pihak yang telah membuat perjanjian kemudian menuangkannya ke dalam sebuah kontrak atau menjadi sebuah perikatan. R. Setiawan berpendapat bahwa perjanjian atau kontrak (overeenkomst) lebih tepat untuk disebut dengan ‘persetujuan’[1].
Hal ini karena Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek yang menganut asas konsesualisme yang pada asasnya kata perjanjian hanya terjadi apabila terdapat kesepakatan kehendak antarpihak. Masih dalam pasal yang sama, terdapat empat syarat perjanjian di antaranya:
- Kesepakatan diantara kedua belah pihak;
- Kecakapan dalam membuat perjanjian;
- Suatu sebab yang halal; dan
- Suatu hal tertentu.
Akan tetapi, terhadap sumber perikatan dalam Burgerlijk Wetboek, terdapat beberapa pertentangan diantara para ahli.
Argumen yang menentang berdalih bahwa perjanjian bukan merupakan sumber dari perikatan. Sebab, perjanjian dapat menimbulkan perikatan apabila telah diatur sebelumnya oleh undang-undang. Sehingga, sudah sepatutnya hanya undang-undang sebagai satu-satunya sumber hukum perikatan.
Menurut Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, perjanjian berlaku sebagai hukum yang bersifat mengikat bagi para pihak di dalamnya. Apabila terjadi pelanggaran terhadap klausul perjanjian, akan tergolong sebagai perbuatan melawan hukum (PMH). Para pihak dapat menentukan klausul apapun dalam perjanjian yang mereka buat, termasuk perihal pemutusan kontrak atau perjanjian secara sepihak.
PMH adalah suatu perbuatan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan timbulnya kerugian bagi pihak lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum. Kewajiban ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya dan dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat diminta suatu ganti rugi.
PMH tidak dijelaskan secara eksplisit dalam KUHPerdata. Akan tetapi, akibat PMH dijelaskan dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi:[2]
“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu untuk mengganti kerugian tersebut.”