Pertama, pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh ketiga penyidik ini diduga tidak menggali kebenaran materiil kasus Pinangki. Terdapat dua hal yang tidak diselidiki lebih lanjut oleh ketiga penyidik ini yakni alasan yang membuat Djoko Tjandra memercayai Pinangki untuk mengurus fatwa ke Mahkamah Agung serta upaya Pinangki untuk mengurus fatwa tersebut. Dalam konteks ini, tidak mungkin seorang buronan kelas kakap seperti Djoko Tjandra yang telah melarikan diri selama sebelas tahun langsung percaya kepada seorang Jaksa yang ‘hanya’ menjabat Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung melalui Kejaksaan Agung.
Kedua, mereka diduga tidak menindaklanjuti hasil pemeriksaan Bidang Pengawasan Kejaksaan Agung yang menyatakan Pinangki sempat melapor kepada pimpinan setelah pertemuannya dengan Djoko Tjandra, penyidik hanya mendasarkan bukti atau keterangan dari Pinangki. Dalam hal ini yang seharusnya dilakukan oleh penyidik adalah mendalami temuan Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas), jadi tidak hanya bergantung dari keterangan tersangka saja. Dan pada saat proses penyidikan ketiga jaksa penyidik ini tidak menyelidiki siapa sebenarnya pimpinan yang dimaksud oleh Pinangki.
Ketiga, Terlapor juga tidak mendalami peran-peran pihak yang selama ini diusulkan terlibat dalam jaksa Pinangki. Pihak yang dimaksud antara lain nama-nama yang sempat dilaporkan Masyarakat Anti Korupsi ke KPK yakni inisial BR, RA, dan istilah “bapaknya”. ICW meragukan penyidik telah mendalami terkait dengan istilah dan inisial-inisial tersebut. Seharusnya jika telah didalami dan ditemukan siapa pihak tersebut, maka mereka dipanggil ke hadapan penyidik unyuk dimintai klarifikasinya.
Keempat, ketiga penyidik diduga tidak berkoordinasi dengan KPK pada proses pelimpahan perkara Pinangki ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Semestinya, setiap tahapan penanganan perkara tersebut, Kejaksaan Agung harus berkoordinasi dengan KPK. Namun dalam hal ini, Kejaksaan Agung langsung melimpahkan berkas perkara Pinangki ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tanpa berkoordinasi dengan KPK terlebih dahulu. Padahal, KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Terlebih, KPK telah menerbitkan surat perintah supervisi perkara Pinangki di Kejaksaan Agung.
Pada kasus ini, ketiga Jaksa Penyidik tersebut telah mencoreng etika profesi. Dalam pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Sedangkan dalam melaksanakan tugasnya, ketiga Jaksa penyidik ini tidak menggali kebenaran dan benar-benar mendalami kasus ini.
Berdasarkan kejanggalan yang ada, ketiga Jaksa Penyidik ini melanggar Pasal 5 huruf a Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Per-014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa yang berbunyi ‘menjunjung tinggi kehormatan dan martabat profesi dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dengan integritas, profesional, mandiri, jujur dan adil’.