Equality before the law adalah asas persamaan di hadapan hukum, di mana di dalamnya terdapat suatu kesetaraan dalam hukum pada setiap individu tanpa ada yang terkecuali. Asas equality before the law merupakan salah satu bagian dari konsep negara hukum di dunia, tak terkecuali di Indonesia sebagai negara hukum yang menggunakan asas ini.
Untuk di Indonesia, dasar hukum asas ini tertuang pada Konstitusi atau basic law Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, asas ini dijelaskan dalam Pasal 5 Ayat 1 yang bunyinya, “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Dalam Konstitusi UUD NRI Tahun 1945 di Pasal 27 Ayat 1 bunyinya, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Bila ditafsirkan kembali bottom line dari Pasal 5 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 27 ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 mengandung makna tidak jauh berbeda dari asas equality before the law, yang artinya setiap warga negara Indonesia kedudukan haknya sama dan tidak dibeda-bedakan di dalam hukum dan pemerintahan. Tetapi nyatanya, dari kedua pasal tersebut memunculkan tanda tanya, yaitu implementasi dari equality before the law di Indonesia? Apakah sudah terlaksana atau tidak?
Mari kita lihat kenyataannya. Masih kah ingat berita dari kasus jual-beli sel tahanan mewah yang ada di lapas Sukamiskin? Itu adalah contoh bahwa pelaksanaan atau implementasi dari asas equality before the law di Indonesia nihil. Sebagian terpidana korupsi yang ada di Lapas Sukamiskin memiliki fasilitas sel yang sangat mewah dibandingkan narapidana pada umumnya.
Dalam sel terpidana korupsi di Lapas Sukamiskin, dapat ditemukan fasilitas mewah seperti adanya AC, televisi, tempat tidur, alat olahraga, kamar mandi dan satu sel hanya ditempati satu orang narapidana. Kemudian perbandingannya dengan sel tahanan pada umumnya dengan kasus tindak pidana pencurian, pemerkosaan atau tindak pidana lainnya sangat jauh berbeda dari sel tahanan terpidana korupsi di Lapas Sukamiskin. Mereka bisa ditempatkan dalam satu sel tahanan yang sempit, diisi lebih dari satu orang, tidak ada tempat tidur, tidak ada AC. Apakah kenyataan ini adil?