Padahal, pada kenyataannya masyarakat hukum adat dan hutan merupakan bagian yang tak terpisahkan. Masyarakat hukum adat banyak bergantung dengan hutan dan bahkan menganggap hutan adalah bagian dari leluhur mereka sehingga mereka merasa berkewajiban untuk menjaga dan melestarikan hutan adat yang mereka miliki. Masyarakat Lindu misalnya, sangat menghargai hutan dengan memberlajukan zonai penggunaan hutan dan memberikan sanksi kepada para pelanggar zonasi tersebut.
Data menunjukkan kasus kebakaran hutan justru masif dilakukan oleh para pengusaha. Hal ini ditunjukkan berdasarkan catatan Greenpeace Indonesia, terdapat perusahaan-perusahaan yang melakukan pembakaran hutan sejak 2015-2018 seperti: Sungai Budi Lampung (16.500 ha), Bakrie (16.500 ha), Best Agro Plantation (13.700 ha), LIPPO (13.000 ha), Korindo (11.500 ha), Keluarga Fangiono (9.200 ha), Salim (7.800 ha), Societe Internationale de Plantations et de finance (SIFEF) (7.300 ha), Gama (7.300 ha), dan Citra Borneo Indah (6.800 ha).
Pemerintah pun seperti tak bertaring saat melawan pengusaha. Analisis Greenpeace menyebutkan hanya dua dari 12 grup Perusahaan Kelapa Sawit di atas yang telah dijatuhi sanksi tegas oleh pemerintah. Hal ini tentu semakin menujukan pada saat ini masyarakat hukum adat menjadi kambing hitam dari ketidakmampuan negara dalam menghadapi banyaknya pembakaran hutan oleh Pengusaha. Adanya kepentingan investasi dan ekonomi menjadi pertimbangan Pemerintah menghadapi pembakaran hutan secara masif oleh pengusaha.
Pun, adanya dalih tersebut dapat secara tidak langsung menyingkirkan eksistensi keberadaan masyarakat dari tanah kelahirannya sendiri. Hal ini dibuktikan dengan disahkannya UU Cipta Kerja (UUCK) yang membawa angin kiamat pada kepentingan masyarakat hukum adat. Meskipun undang-undang tersebut ditentang oleh banyak pihak karena tidak ada partisipasi masyarakat dalam penyusunannya. Namun, undang-undang tersebut telah resmi berlaku menjadi UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Melalui UUCK tersebut masyarakat hukum adat terancam dari tanahnya sendiri dengan kembali berlakunya asas domein verklaring yang menjadikan tiap tanah yang tidak dapat dibuktikan oleh pemiliknya untuk dapat otomatis dijadikan sebagai tanah negara melalui Bank Negara. Padahal asas tersebut telah dihapus dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) karena tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Dalih hak negara menguasai tanah yang didasarkan pada Pasal 33 Ayat 3 UUD NRI Tahun 1945 merupakan dalih yang tidak mendasar. Hal ini karena berdasarkan pasal tersebut, negara hanya diberikan hak untuk menguasai bukan memiliki sehingga sudah sepatutnya asas ini dihilangkan kembali.
Masih rendahnya kesadaran masyarakat hukum adat dalam registrasi tanah menyebabkan kekayaan masyarakat hukum adat terancam dengan kehilangan tanah dan hutan adatnya apabila asas ini kembali diterapkan. Maka dari itu ketimbang memberlakukan kembali asas domein verklaring, alangkah lebih bijaksananya Pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan pencatatan tanah yang carut marut guna menjamin kepastian hukum dalam kepemilikan tanah terutama tanah milik masyarakat hukum adat.