Mayoritas masyarakat umum terutama di era digital saat ini, pasti sudah mengenal Instagram. Aplikasi ini merupakan media sosial yang menyediakan fitur untuk mengunggah foto, video, hingga menggunakan filter digital. Seiring dengan meningkatnya popularitas Instagram, dibarengi juga dengan munculnya akun-akun seperti @ui.cantik, @ugmcantik, @uiicantikganteng, @gantengugm, dan masih banyak lainnya.
Fenomena akun cantik-ganteng dapat kita temukan berkaitan dengan nama perguruan tinggi negeri maupun swasta. Fenomena ini dapat dianggap sebagai ajang wadah eksistensi diri para mahahsiswa. Akun tersebut biasanya akan mengunggah foto-foto dari Instagram mahasiswa maupun mahasiswi yang dianggap memiliki daya tarik ataupun memenuhi kriteria cantik dan ganteng.
Kolom komentar seolah menjadi bursa transfer nama pengguna dari akun-akun menarik tersebut. Selain itu juga menjadi tempat objektifikasi para mahasiswa dan mahasiswi yang fotonya dicomot oleh akun cantik-ganteng tersebut.
Secara tidak langsung, akun-akun tersebut menghantarkan pengikutnya yang berjumlah ribuan kepada akun media sosial mahasiswa dan mahasisiwi yang dianggap menarik dan fotonya berhasil di repost oleh akun cantik-ganteng tersebut. Hal yang menarik di sini maksudnya yaitu dalam segi visual yang enak untuk dipandang bagi khalayak umum.
Akun Mahasiswi Cantik-Ganteng Raup Pundi-Pundi Rupiah Setiap Bulan
Pada 2018, akun-akun ini sempat menjadi pembicaraan panas di media sosial dan media massa. Hal ini menyusul dari thread panjang seorang perempuan bernama Annisa Alifah, melalui akun Twitter @annalifah, korban administrator atau admin @ui.cantik yang mencomot foto dan data pribadinya tanpa izin.
Kegusarannya memuncak setelah mengetahui bahwasannya akun-akun tersebut meraup keuntungan finansial dari berbagai macam iklan atau paid promote yang mereka terima. Padahal, konten-konten yang mereka unggah melanggar privasi orang lain. Annisa juga menulis bahwa ia sempat memprotes kepada sang admin tetapi tidak pernah digubris.
Mirisnya, setelah thread yang Annisa unggah menjadi viral di media sosial, ternyata ratusan korban lain juga bersuara bahwa mereka mengalami hal serupa. Pelaporan massal akun @ui.cantik oleh netizen kemudian membuat akun ini menghilang dari Instagram. Kemudian akun-akun cantik-ganteng kampus lainnya serentak mengubah pengaturan akun agar menjadi private atau tidak bisa diakses publik secara terbuka.
Meski banyak korban yang bersuara dan protes dari berbagai kalangan, akun-akun tersebut masih eksis hingga saat ini. Bahkan, kini, kemunculan akun-akun Instagram mahasiswa ganteng kian merebak pula, menggunakan modus yang sama.
Dengan jumlah pengikut yang mencapai angka ratusan ribu, sang admin dan para pihak di belakang layar meraup keuntungan dari berbagai produk dan jasa yang memasang iklan di akunnya. Bukankah hal ini sangat memperlihatkan bahwa mereka menjadikan para mahasiswa dan mahasiswi yang ‘cantik’ dan ‘ganteng’ sebagai komoditas bagi mereka untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah melalui akun [kampus] cantik-ganteng ini.
Beauty Standard yang Absurd dan Normalisasi Objektifikasi
Selain mendapat keuntungan dengan jalan menerobos privasi orang lain, meski kesannya mungkin fun, tapi secara tidak sadar jika terus dibiarkan akun-akun ini jika terus dibiarkan akan semakin menormalisasi objektifikasi baik terhadap perempuan maupun laki-laki.
Akun-akun cantik-ganteng ini juga menggunakan beauty standard (standar kecantikan) yang dangkal dan normatif. Jika beauty standard (standar kecantikan) normatif terus diproduksi dan dibiarkan di ruang publik secara terus menerus, hal itu akan dianggap sesuatu yang tidak bermasalah dan sepele. Bahkan ada beberapa orang yang menganggap bahwa kita tidak perlu mempermasalahkan akun [kampus] cantik-ganteng tersebut dengan dalih ‘mendapat pujian’.
Padahal, akun-akun ini secara tidak sadar telah melestarikan kultur kekerasan, karena sebagian besar komentar bernada seksis. Meskipun dalam tiap postingan di akun [kampus] cantik-ganteng juga dicantumkan informasi lain, namun orang akan cenderung mengomentari fisiknya, daripada prestasi atau kepintarannya. Selain itu, jika ada yang dianggap kurang cantik atau kurang ganteng, biasanya mereka akan mendapatkan hujatan serta dianggap tidak pantas masuk akun-akun tersebut.
Kita harus ingat, bahwa jika dilihat dari piramida rape culture (budaya pemerkosaan), dimulai dari candaan dan komentar-komentar seksis. Budaya mengobjektifikasi seseorang ini akan dianggap lucu dan biasa saja (normal) kalau terus dibiarkan.
Padahal menggunakan foto orang lain untuk kepentingan pribadi sangat tidak baik karena orang tersebut diposisikan sebagai objek. Selain itu, keberadaan akun-akun tersebut tidak urgent jika dilihat dari segi apapun dan lebih banyak aspek negatifnya, misalnya apa kriteria menentukan standar cantik atau gantengnya seseorang. Kalaupun ada standar untuk hal tersebut, lalu apa gunanya?
Bahkan keberadaan akun-akun tersebut tak ada kontribusinya bagi perkuliahan. Hal ini dikarenakan tidak ada pertukaran ilmu maupun informasi yang dibutuhkan oleh mahasiswa dan mahasiswi. Padahal bagi kehidupan akademik, jelas sekali bahwa akun seperti ini tidak diperlukan karena kontribusinya terhadap aspek pembelajaran juga tidak ada.
Di dalamnya tidak terdapat transfer of knowledge maupun transfer of value yang dapat meningkatkan kualitas diri mahasiswa. Para mahasiswa dan mahasiswi malah mungkin akan lebih tertantang dan terfokus meningkatkan pesona fisiknya semata dibanding hal lain. Kita sebagai mahasiswa dan mahasiwi harusnya sadar bahwa masa depan bangsa ini ada pada kita.
Tongkat estafet perjuangan untuk membuat bangsa ini menjadi lebih baik ada pada kita semua dan kita harus menerimanya. Kita harus ingat bahwa kita adalah agen perubahan dan harus mengamalkan Tridharma Perguruan Tinggi.